Jumat, 20 Maret 2009

Teori Teks dan Interteks Pertunjukan Teater


Teks memiliki fungsi sebagai berikut, pertama sebagai kegiatan kontroversial yang menepis pengarang sebagai suatu pusat, pembatas, penentu kebenaran, suara dan makna. Kedua, sebagai tampilan fenomenal yang berbentuk rajutan kata-kata yang diatur agar menghasilkan makna. Ketiga, menghasilkan pembacaan dan penulisan makna dengan menghilangkan tanda. Keempat, mengaktualisasikan kembali praktik sosial yang terlibat di dalamnya. Kelima, menyebarkan kembali kiriman bahasa untuk kepentingan komunikasi ucapan yang terkait dengan ucapan-ucapan yang berbeda.1

Perkembangan fungsi teks tersebut menyebabkan teks tidak lagi merupakan suatu praktik penandaan, tetapi praktik produksi, yaitu mempertemukan produser dengan pembacanya. Segera setelah teks dianggap sebagai produksi (proses dan bukan produk), praktik penandaan tidak lagi menjadi konsep yang memadai. Teks menjadi ruang polisemik di mana langkah-langkahnya menjalin beberapa kemungkinan makna, sehingga praktik membaca teks menggantikan peran menandai teks. Pembacaan mengakibatkan teks menjadi suatu produksi yang berkelanjutan di mana subyeknya tetap harus berjuang. Subyek tidak lagi subyek pengarang tetapi subyek pembaca. Teks tidak hanya mengembangkan luasnya kebebasan membaca tetapi menuntut juga kesamaan produktivitas antara menulis dan membaca. Berbagai makna yang diakibatkan oleh tindak kebebasan pembacaan tersebut menyebabkan teks bersifat plural. 2

Pada saat teks bersifat plural, keberadaannya tergantung pada cara menganalisis. Teori teks menjadi analisis tekstual. Analisis tersebut berlangsung pada sosialisasi persepsi, inteleksi, tanda, tata bahasa, dan bahkan ilmu. Agar analisis atau praktik tekstual pertunjukan teater berfungsi, perlu kiranya menempatkan pertunjukan teater sebagai sebuah teks. Teks menggambarkan bentuk konkrit peristiwa yang memiliki kesinambungan dan kerjasama, seperti estetika, seni rupa, sastra, skenografi, dan teks pertunjukan.3 Analisis pertunjukan yang dilakukan secara tekstual, dengan demikian, bersifat paradoks. Artinya, terjadi pemaknaan interwacana dari beragam peristiwa dalam teater, sehingga di dalam wilayah teks teater terjadi pengembangan dan perluasan teks dengan cara “menyerap” konteks dan memaknainya. Penyerapan dan pemaknaan konteks membuat teks menjadi baru.

Menyerap konteks menjadi teks baru merupakan suatu praktik pembacaan dengan mengembara dan menggandakan makna-makna yang ditemukan, sehingga praktik pembacaan tidak pernah berhenti membatasi makna. Seperti halnya teori analisis tekstual de Marinis, teori teks Barthes merupakan kerja ”buka batas” wilayah analisis. Teks menjadi plural dan menjadi paradigma suatu ”bahasa” yang ditempatkan dalam suatu perspektif ”bahasa-bahasa”.4 Di sini akan terjadi pertemuan antara subjek dengan bahasa-bahasa. Fungsi teks di sini adalah menguatkan pertemuan tersebut sehingga menghasilkan pengertian yang baru.

Praktik tekstual di atas mempersiapkan subversi pada teks. Akibatnya, suatu diskursus baru pun akan hadir, yaitu suatu bahasa underground yang memproduksi pengetahuan yang selama ini tidak disuarakan dan dipikirkan.5 Pengetahuan ini memunculkan teori pertunjukan teatrikal secara diskursif dan a priori yang menemukan cara bagaimana teks menyebar dan menanamkan pengaruhnya. Pada tahapan ini, teks diatur dan dihidupkan kembali secara plural. Makna belum menjadi hal penting untuk ditemukan. Melupakan makna menjadi salah satu bagian terpenting dari proses menghadirkan suatu teks. Proses ini mengungkapkan kepergian makna, dan bukan kehadirannya. Apa yang ditemukan dalam teks bukan struktur teks yang internal dan tertutup, tetapi ”jalan keluar” bagi teks itu menuju teks lain atau hal lain yang menyebabkan teks tersebut menjadi intertekstual.

Teori intertekstual mempunyai prinsip dasar bahwa setiap teks merupakan suatu produksi atau produktivitas. Teks merupakan satu permutasian teks-teks lain. Intertekstual merupakan suatu metode pemaknaan yang bekerja dengan menggabungkan dua wilayah yang selama ini dianggap bertentangan, yaitu antara wilayah struktur dan wilayah kolaborasi yang tidak terbatas. Pembacaan intertekstual merupakan langkah konsiliasi dan postulasi yang menunjukkan bahwa ternyata bahasa tidak memiliki keterbatasan dan tidak memiliki struktur yang mapan. Sebenarnya, makna yang ditemukan tidak seluruhnya menghilang, tetapi hanya dibatasi dan belum dirumuskan dengan jelas. Makna hanya berbentuk asumsi atau tanda yang belum beroleh bentuk yang mapan. Makna dipertemukan dengan mendekatkannya kepada teks lain.

Sebuah teks mendistribusikan kembali bahasa.6 Setiap teks adalah suatu interteks. Teks yang lain hadir di dalamnya melalui beragam tingkatan dengan bentuk yang kurang dikenal, seperti teks dari budaya yang ada sebelumnya dan teks yang ada di sekitar budaya tersebut. Oleh karena itu, teks dibaca dan harus dibaca dengan latar belakang teks lain; tidak ada sebuah teks pun yang sungguh-sungguh mandiri, dalam arti bahwa penciptaan dan pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks lain sebagai contoh, teladan, kerangka. Teks yang menjadi latar penciptaan karya baru disebut hypogram, dan teks baru yang menyerap dan mentarnsformasikan hypogram disebut teks tranformasi.7

Setiap teks merupakan suatu jaringan baru yang berasal dari kutipan masa lalu. Yulia Kristeva menganggap praktik tekstual penyebaran bahasa dan ucapannya sebagai cara translinguistik.8 Praktik tekstual dipastikan menjadi suatu kerja interteks, karena setiap teks merupakan suatu jaringan baru yang berasal dari kutipan teks yang lalu atau yang lain. Teks lain itu tidak otomatis menjadi sumber, sedangkan kehadiran teks baru tidak juga karena adanya pengaruh.9 Keduanya hadir secara interteks dalam suatu wilayah yang murni yang muncul secara otomatis tanpa dapat dipertanyakan penyebabnya dan ternyata keduanya dapat dipersandingkan. Teks-teks tersebut kemudian memproduksi jaringan atau rajutan baru.10

Prinsip praktik tekstual menunjukkan gambaran teks, bahwa teks adalah sesuatu yang terajut. Teori teks kemudian menjadi suatu pembacaan terhadap rajutan dalam teksturnya, dalam rajutan kode-kode, formula penciptaan, dan si pembaca. Hal itu dapat digambarkan seperti halnya laba-laba yang menenggelamkan dirinya sendiri dalam jaring yang dibuatnya. Teori teks dianggap sebagai hipologi. Hypos adalah rajutan, tenunan, jaringan. Barthes menyebut teori teks adalah teori tentang jaringan.11

Proses kerja intertekstual Kristeva menempatkan jaringan teks Barthes sama dengan gagasan analisis tekstual pertunjukan de Marinis. Teori jaringan menjadi suatu metode yang digunakan untuk memaknai pertunjukan teater modern dan kontemporer. Memilih suatu objek pembacaan seperti bentuk peristiwa teater melibatkan pilihan-pilihan elemen pertunjukan teatrikal. Teater memiliki peralatan khas bagi pemindahan suatu budaya sumber pada penonton target, yaitu melalui konteks teatrikal. Intertekstualitas di dalam pertunjukan teater merupakan praktik pembacaan teatrikal. Pavis menyatakan bahwa pertunjukan teatrikal memiliki peralatan transmisi yang tidak dimiliki media lain untuk berkomunikasi. Peralatan transmisi tersebut adalah elemen-elemen teatrikal yang terdiri dari akting para aktor, penulisan naskah drama, penyutradaraan, penataan artistik dan audio visual, pengelolaan produksi, dan penataan ruang riil dan ruang imajiner panggung pertunjukan.12

De Marinis menyebut tipe-tipe intertekstualitas teatrikal sebagai intertekstual berlapis atau dimensi berlapis.13 Tipe-tipe intertekstualitas teater tersebut sebagai berikut. Pertama, kesamaan dan pengaruh tidak disengaja antara teks estetis yang ada berkat budaya sinkronis yang sama. Fenomena ini dapat dijelaskan oleh keaslian budaya keseharian dan faktor-faktor pendukung pada tingkat superstruktur yang berbeda dalam struktur sosio-ekonomi melalui beragam bentuk mediasi.

Kedua, acuan yang disengaja, baik eksplisit maupun tersembunyi, oleh teks-teks estetis penulisnya dengan teks estetis lainnya yang berbentuk baik kontemporer maupun tidak, baik dari genre yang sama maupun tidak, baik dari budaya tradisi yang sama maupun tidak. Teks estetis, seperti yang dinyatakan Pierre Francastel, seorang antropolog struktural, adalah suatu montase objek kultural yang mendekatkan antara praktik artistik dengan kehidupan budaya, sosial, dan politik dalam ruang dan waktu tertentu. Fenomena ini terkadang diletakkan dalam kategori kutipan estetis.

Ketiga, di dalam kutipan dan acuan baik disengaja maupun tidak disengaja, teks estetis dan teks nonestetis yang bervariasi pun ditemukan di dalamnya. Beberapa contoh di antaranya skeneri, kostum, rias, ilustrasi musik, gestur, lukisan, teks sastra, patung, atau karya arsitektur.

Keempat, ekspresi subyek yang tampil berlapis, misalnya lapisan penulis naskah, sutradara, aktor, perancang artistik, perancang busana, dan pemusik. Batas lapisan intertekstual cenderung berpindah di antara unsur-unsur subyek tersebut, tergantung pada genre, periode, atau tradisi tekstualnya. Misalnya, kemunculan teater sutradara di mana kekuasaan tidak lagi di tangan penulis naskah tetapi juga di tangan aktor.

Kelima, acuan gaya penyutradaraan atau akting mengarah pada self-quotations. Sang sutradara mengacu pada salah satu elemen produksi yang diciptakannya sebelumnya, dengan menampilkan kembali beberapa elemen panggung seperti tata busana, penekanan tertentu pada akting, pilihan properti panggung. Sang aktor menampilkan kembali salah satu seni perannya yang terbaik. Fenomena self-quotations berkembang melalui kasus penulisan, penyutradaraan dan akting aktor.

Keenam, karena teks pertunjukan khas dan tidak terulang, rentetan ungkapan yang terdapat dalam teks kutipan tidak pernah dianggap identik dengan teks sumbernya. Konteks baru mengubah fungsinya dan dengan demikian maknanya, serta memperkayanya dengan tujuan-tujuan baru yang diucapkan maupun tidak terucap. Sebuah kutipan yang kemudian menjadi sebuah pernyataan juga merupakan sebuah ungkapan; suatu tindakan yang unik dan tidak terulang dengan bentuk yang sama. Maka dari itu, tidak ada pernyataan tanpa ungkapan dari dua teks, bahkan jika pernyataan keduanya identik, ungkapannya tetap berbeda.

Ketujuh, ungkapan intertekstual menunjukkan adanya keterkaitan antara intertekstual pengirim dan intertekstual penerima. Keterkaitan keduanya terkadang tampak terkadang tidak tampak. Keterkaitan yang tidak tampak antara keduanya dibuktikan oleh perbedaan yang terjadi melalui beragam tingkatan antara kemampuan produktif dan kemampuan reseptif. Maka dari itu, terdapat acuan atau intensi yang secara nyata menyebabkan penonton tidak dapat memahami karena adanya jarak pengetahuan ensiklopedik yang dimiliki antara pengirim dan penerima. Sebaliknya, penonton menemukan pertunjukan yang tidak tampak—atau setidaknya tidak disadari—, yaitu kutipan yang secara sadar ia percayai. Inilah sebenarnya perbedaan antara kutipan yang ditransmisikan dan kutipan yang diterima. Secara teoretis, hal tersebut melegitimasikan konsep tentang “intertekstual tidak disadari” yang telah dijelaskan di atas. Di sini lah terjadi suatu produksi aktif, produktivitas, suatu konstruksi dan bukan sekedar suatu konfirmasi.

Kedelapan, persoalan antara intertekstual sinkronik dijelaskan melalui pemahaman konsep “budaya sinkronik” dan “teks sinkronik”. Teks sinkronik tidak berlaku pada apa saja yang secara kronologis milik zaman yang sama, tetapi lebih pada segala sesuatu yang disahkan oleh budaya keseharian, yaitu semua hal yang diberi oleh budaya yang ada bagi status sebuah teks. Sesuatu ditampilkan oleh teks keseharian dalam budaya keseharian. Tidak semua pesan yang terkait secara konkret dengan semua ruang budaya dapat dianggap sebagai teks dari sudut pandang budaya tersebut. Di sisi lain, budaya sinkronik yang ada dikenali sebagai teks, dan dengan demikian dianggap sebagai budaya kontemporer atau budaya sinkronik yang menjadi milik sejarah zaman sebelumnya atau budaya lain. Fenomena tersebut merupakan “budaya multilingualisme” atau “multibudaya.”

Kesembilan, semua hal di atas membutuhkan konsep budaya sinkronik yang lebih luas, yang juga mengembangkan hubungan antara konsep ini dengan “kolektif memori nongenetik.” Di samping kehadirannya sebagai alat penghasil teks, budaya juga dipahami sebagai suatu alat tertentu bagi konservasi dan pengembang informasi. Dinamisme budaya, secara teoretis, menyampaikan konsentrasi pengalaman masa lalu dan muncul baik melalui sebuah rancangan maupun arahan penciptaan teks baru. Asimilasi teks-teks dari budaya lain menghadirkan fenomena multikulturalisme, yaitu menghadirkan kemungkinan-kemungkinan dan mengadopsi gerakan konvensi gaya budaya lain.

Budaya multilingualisme dan multikulturalisme memperluas wilayah kerja intertekstual teater dan proses kontekstualisasinya dalam rangka mendekatkan teks-teks dari masa yang lain atau wilayah yang berbeda dari teks yang telah dianalisis. Pada masalah ini, Franco Ruffini memberi batasan tentang kontekstualisasi, yaitu teks acuan “dikelilingi” oleh teks-teks lain, diintegrasikan pada teks budaya yang memiliki jarak yang dekat dan terpilih. Teks-teks tersebut memiliki wilayah sumber yang berbeda, dasar yang berbeda dengan dasar target masa kini, atau hasil dari “penemuan kembali” yang berasal dari kerja “kembali ke sumber”. Jalur kontekstualisasi dapat berangkat dari penyeleksian daya gabung, dasar hubungan yang sudah terbukti, dan pada acuan eksplisit kepada teks acuan.14

Pembacaan elemen-elemen teatrikal digunakan untuk memaknai suatu proses kebudayaan, namun hanya gambaran budaya yang paling eksternal dan yang telah mengalami rekayasa dan penyebaran dapat dimaknai kembali. Diperlukan elemen teatrikal yang spesifik untuk menampilkan budaya-budaya yang telah mengalami penyebaran tersebut. Elemen-elemen teatrikal pertunjukan tersebut kemudian diubah dan dikembangkan sesuai konteks pertunjukannya. Peranan konteks penting di saat terjadinya penyebaran, karena elemen teatrikal digunakan untuk meneruskan dan menerjemahkan konteks yang berisikan pesan-pesan dari budaya lama dan asing. Melalui elemen teatrikal pesan lisan diperagakan secara pandang-dengar. Kekhususan teater terletak pada kemampuannya menampilkan budaya secara teatrikal. Teater bertugas untuk menerjemahkan yang tidak terjemahkan, seperti magi, taksu, dan kharisma, yang dihadirkan melalui gerak tubuh, atmosfer, dan aksi simbolik secara konkrit. Suatu konsep dan sesuatu yang tidak terjemahkan menunjukkan adanya ketegangan hidup manusia dalam konflik antara kemungkinan dan kegagalannya.

Dengan mengutip pendapat Peter Brook, seorang sutradara teater, Pavis menyatakan bahwa pertunjukan teatrikal memiliki peralatan transmisi yang tak ada pada media lain untuk berkomunikasi. Peralatan transmisi tersebut adalah elemen-elemen teatrikal, yaitu aktor, teks drama, sutradara, penata artistik, penata elemen pandang-dengar panggung, manajer produksi, dan ruang imajiner panggung. Elemen teatrikal pertunjukan mampu diubah dan dikembangkan sesuai konteks pertunjukannya. Elemen teatrikal dapat digunakan sebagai alat mentransfer dan menerjemahkan budaya asing, sehingga budaya asing tidak sekedar ditampilkan kembali tetapi proses penampilannya dapat diperagakan. Kekuatan pertunjukan teatrikal terletak pada kemampuannya untuk menampilkan budaya secara teatrikal. Inilah kekhasan pertunjukan teatrikal.15

Bagi Peter Brook, Richard Schechner, dan Eugènio Barba, sebagai sutradara multikulturalis, pertunjukan teater tidak sekedar menampilkan kembali budaya asing, tetapi juga membentuknya dan menghadirkan cara kerjanya. Menurut Brook, aktor yang terlibat dalam suatu pertunjukan terlibat dalam suatu ritualisasi pencarian otentisitas. Alat perlengkapan mereka adalah intensitasnya, yaitu apa yang dimilikinya secara konkret. Mereka tidak meniru kehidupan tetapi melestarikan kualitas penampilan mereka sebagai aktor. Di dalam istilah Barba, teatrikalitas bukan istilah fiksi ataupun realitas, tetapi merupakan pertunjukan teknik beserta dimensi pratampilan yang berlangsung secara umum. Di setiap pertunjukan, penonton berada dalam posisi mengamati status teatrikalitas dengan mengikuti secara paralel arah yang ditampilkan aktor, misalnya, ketika mereka menampilkan suatu bentuk budaya, sehingga mereka terus bersama dengan aktor dalam gerak pikiran-dalam-aksi.

Tidak ada komentar:

PEREMPUAN MENCARI PENGARANG

PEREMPUAN MENCARI PENGARANG