Jumat, 20 Maret 2009

Pemindahan Budaya Sumber ke Budaya Target

Patrice Pavis, Theatre at the Crossroads of Culture, terj. Loren Kueger (London: Routledge, 1992), 185—207.


Di dalam seni pertunjukan teater, tradisi lisan memberi kontribusi yang cukup banyak bagi usaha merekonstruksi pesan masa lampau. Kisah Mahabharata, misalnya, menjadi ide penulisan naskah drama dan seni pertunjukan teater. Peter Brook memproduksi Mahabharata di tahun 1987 menampilkan kembali kodifikasi dramatik tradisi lisan India dengan wujud tampilan kini yang berbeda. Kerja kolaborasi antara seniman Indonesia dan Jepang di tahun 1998 menampilkan Karno Tanding dari kisah Mahabarata. Kemudian Ku Na’uka Theater Company dari Jepang mengusung Mahabarata melalui kisah Prabu Nala dan Damayanti yang ditampilkan di Yogyakarta tahun 2005. Pertunjukan teater I La Galigo berdasarkan cerita lisan tentang La Galigo dari budaya Bugis kuna dipentaskan oleh Robert Wilson, sutradara Amerika ke beberapa negara di tahun 2003. Pertunjukan teater Oidipus Tyrannos (2007) kolaborasi seniman ISI Yogyakarta dan seniman Austria memetakan kembali jejak Yunani kuna berdampingan dengan Jawa kuna.

Di Mancanegara, cerita lisan memegang peranan penting bagi terciptanya sebuah naskah drama dan pertunjukan teater. Di Negara Yunani, kisah Oidipus merupakan cerita lisan yang disebarkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, tanpa diketahui siapa pengarangnya. Sophocles kemudian mengangkatnya menjadi drama trilogi, yaitu Oidipus Rex, Oidipus at Colunus, dan Antigone. Versi Sophocles tersebut kemudian dibaca kembali oleh seniman di masa kini dalam pesan-pesan konteks yang berbeda, di antaranya Rendra mementaskan Oidipus Sang Raja dalam konteks sindiran bagi kekuasaan Orde Baru yang dianggap sewenang-wenang. Jean Anouilh menulis kembali kisah Antigone Sophocles dengan penyesuaian pada konteks Perancis sesudah PD II. Hadir kemudian karyanya Antigone di 1950. Demikian juga cerita tentang Phedra yang merupakan cerita lisan dari Yunani kuna ditanggapai oleh Jean Racine, seniman Perancis abad ke-17, yang kemudian mencipta naskah Phedra dengan konteks bahwa tindakan emosional akan mengakibatkan kematian. Manusia harus lebih mengutamakan kekuatan pikir daripada emosi sesaat. Cerita lisan tentang sosok Phedra tersebut ditanggapi kembali oleh Sarah Kane, penulis naskah drama Inggris abad ke-20, menjadi naskah drama Phedra’s Love dengan pesan dan konteks feminis. Bahwa bukan karena emosi yang menyebabkan perempuan menemui kematiannya, tetapi kekuasaan sistem patriarki menjebak perempuan mengalami nasib tragis. Bahwa tragedi bukan kehendak dewa-dewa, tetapi manusia membutuhkan tragedi untuk menjawab kekuatan kehendaknya yang mempribadi.

Patrice Pavis membuat skema yang menggunakan contoh konkret pertunjukan teater di mana elemen-elemen teatrikal memindah pesan budaya sumber menuju ke budaya target. Pemindahan pesan budaya menjadikan pertunjukan teater menjadi intertekstual. Pemindahan budaya terjadi, yaitu antara budaya sumber (produser, pengirim) ke budaya target (penanggap, penonton) melalui mise en scène. Pertunjukan budaya sumber, tradisi lisan misalnya, berarti menuliskan rangkaian konkretisasi dari transformasi elemen-elemen pertunjukan teater kepada penontonnya. Patrice Pavis menyatakan bahwa keadaan tersebut dilakukan dengan membentuk mise en scène pertunjukan dan merekonstruksi langkah-langkah penciptaan artistik secara metodis, sistematis, dan teknis. Pavis menyebutkan pula dua pelaku yang harus diperhatikan dalam membentuk mise en scène, yaitu, budaya sumber dan budaya target.

Dalam gambar di bawah ditunjukkan bagaimana pertemuan antara budaya sumber ke budaya target melalui mise en scène dalam sebuah rantai transmisi dengan mengambil contoh pada transmisi teks (tradisi) lisan ke teks (tradisi) tulis, hingga menjadi teks pertunjukan.

Pertemuan Budaya Sumber dan Budaya target

source culture = budaya sumber

target culture = budaya target

original situation of enunciation = situasi ujaran yang dimaksud pengirim;

intended situation of enunciation = situasi yang dikehendaki penerima.

Wilayah (T) merupakan mise en scène atau wilayah pertemuan antara situasi ujaran yang dimaksud pengirim dengan situasi yang dikehendaki penerima. Antara keinginan pengirim yang sebenarnya bertemu dengan harapan penonton. Rantai transmisi pertemuan budaya sumber dan budaya target (T) dalam proses penciptaan seniman melalui pembentukan mise en scène pertunjukan berlangsung dalam tahapan sebagai berikut.

a. Tahap pertama (T0), yaitu identifikasi ide, di antaranya ide dan pesan dari tradisi lisan. Tahapan ini berada dalam wilayah budaya sumber yang dilacak seniman. Gagasan masih abstrak dan berada di angan dan pikiran seniman sehingga gagasan ini belum memiliki wujud yang jelas. Tahapan ini dapat digunakan sebagai cara menemukenali cerita lisan dengan pesan-pesannya yang hidup di masa lampau dan berkembang di masyarakat. Tahapan ini menjadi sumber garapan pertunjukan dan juga menjadi sumber budaya yang menjadi pesan kepada penerimanya.

b. Tahap kedua (T1), yaitu observasi artistik budaya sumber. Tahapan ini merupakan textual concretization (konkretisasi tekstual), yaitu usaha seniman mengkonkretkan gagasan melalui wujud artistik. Cara yang dilakukan adalah mencari semangat dan nilai-nilai budaya sumber yang pernah dikenali. Misalnya, makna kisah Mahabharata, Oidipus, dan I La Galigo yang menjadi pesan yang disampaikan seniman kepada penonton.

c. Tahap ketiga (T2), yaitu perspektif seniman. Tahapan ini merupakan tahapan dramaturgical concretization (konkretisasi dramaturgi), yaitu usaha penyesuaian antara eksplorasi seniman dengan perspektifnya. Di dalam tahapan ini, beragam konteks mulai diperhitungkan seniman. Konteks budaya target mulai ditanggapi seniman. Seniman memilih materi dan teknik penciptaan untuk mengkonkretkan elemen-elemen pertunjukan. Selera penonton diamati cermat. Kecenderungan selera estetis penonton menjadi bahan pertimbangan kreativitas seniman. Di dalam tahjapan ini, kreativitas penciptaan secara pertunjukan mulai mendapat bentuknya.

d. Tahap keempat (T3), yaitu stage concretization (konkretisasi pemanggungan). Transfer gagasan dilakukan melalui konkretisasi pemanggungan. Tahapan ini merupakan usaha mendekatkan perspektif seniman dengan penerimanya melalui elemen-elemen pertunjukan. Konkretisasi pemanggungan merupakan suatu konkretisasi penciptaan elemen pertunjukan. Konkretisasi dalam tahapan ini membuktikan adanya pilihan metode penciptaan, sistem dan teknik yang menjadi krakateristik khas seorang seniman.

e. Tahap kelima (T4), yaitu receptive concretization (konkretisasi resepsi) penonton. Tahapan ini merupakan konkretisasi penerimaan, yaitu ujicoba mendekatkan konkretisasi penciptaan elemen-elemen pertunjukan kepada citarasa penerimanya. Cita rasa penonton bertemu dengan cita rasa seniman. Terjadi pertemuan antara kreativitas artistik seniman dan kualitas estetis penonton.

B Dari Teks ke Tubuh dan Dari Tubuh ke Teks

Tahapan pembentukan mise en scène dengan skema Pavis di atas dapat digunakan pula untuk mengamati terjadinya serial ujaran antara pelaku dengan teks, dan antara kata-kata dengan gestur yang saling bertentangan. Terjadinya pertentangan dilacak melalui penerjemahan intersemiotik antara sistem praverbal dan verbal teks sumber dan teks target.

Sebelum tradisi lisan ditulis melalui naskah drama, situasi kelisanan belum terstuktur secara semiotik (1) dan belum terartikulasi dengan baik. Elemen-elemen praverbal (gestur) tidak melibatkan kata-kata, meskipun ada tetapi hanya merupakan ujaran yang biasanya menjadi awal dari teks tulis. Maka dari itu, praverbal mencakup semua elemen, seperti kostum, gerak-gerik pelaku, dan imajinasi ujaran yang berada dalam situasi ujaran sebelum teks tulis hadir. Pokoknya, semua sistem tanda yang menunjukkan situasi ujaran teatrikal.

Dalam teks sumber dramatik (2), yang muncul adalah pelacakan linguistik (tetap berbentuk kelisanan) yang ada bersamaan dengan proses pembentukan gestur dan praverbal. Mendekatkan teks sumber verbal (2) ke teks target verbal (5), harus melalui mise en jeu sumber (3) dan mise en jeu target (4). Di dalam situasi praverbal (oral dan gestur), gambaran mise en jeu teks sumber adalah rancangan gestur tubuh pelaku, sedangkan gambaran mise en jeu teks target adalah rancangan mise en scène. Tampilan bahasa sumber (2) dan bahasa target (5), dengan demikian, dibingkai melalui verbalisasi bahasa.

Mise en jeu teks sumber adalah cara menyeimbangkan antara situasi tampilan gestur dan ungkapan lingustik. Hal tersebut tampak di saat terjadi pertukaran antara (3) dan (4) sebagai dampak dari usaha membandingkan dan menampilkan kata dan benda melalui dua bahasa dan dua budaya serta penyesuaian tubuh-bahasa berdasarkan dua sistem tersebut. Pada saat mise en jeu teks target (4) terealisasi, maka ia tertulis dalam suatu sistem verbal, yaitu bahasa target (5), kemudian ia berubah dari penampilan kata dan benda (4) menjadi sistem linguistik (5). Pada saat teks tersebut diterjemahkan ke atas panggung dalam tampilan teatrikal dan situasi penanggap (T3 dan T4), penyesuaian tubuh-bahasa mencapai titik akhir.

T0 T1 T2 T3 T4

Sigmund Freud menyebut penerjemahan teks sumber ke teks target sebagai mise en jeu yang berlangsung melalui dua dimensi tanda linguistik, yaitu presentasi kata dan presentasi benda. Presentasi kata berlangsung secara aural, berdimensi auditif, berbentuk tampilan penanda aural. Presentasi benda adalah presentasi visual yang merupakan kombinasi dari beragam tampilan, seperti visual, aural, taktil, kinestetik. Pertukaran dan “uji coba” dalam penyesuaian mise en jeu antara (3) dan (4) berada dalam dua sistem, yaitu linguistik dan budaya. Transfer dari teks sumber ke teks target baik melalui penanda ritmik maupun fonik dan beberapa asosiasi lainnya, ditandai dan disampaikan oleh teks sumber. Keberhasilan transfer ganda di atas terjadi karena berbagai kondisi dan proporsinya, misalnya, presentasi benda tidak akan menjadi representasi yang utuh, dan tampaknya tidak akan pernah utuh, sedangkan presentasi kata tampak utuh, meskipun telah dikembangkan.

Apabila transfer ganda gagasan Freud di atas diberlakukan pada teater, wujud transfer (3) dan (4) akan berbeda, yaitu presentasi jumlah kata dalam verbalisasi bahasa target menjadi tidak terbatas dan jumlah keterkaitannya menjadi terbatas dalam (4) dan (5). Akibatnya, dimensi fonik dan ritmik dari teks sumber relatif dapat dimapankan dan ditransfer. Sebaliknya, presentasi benda-benda dalam teks yang sama lebih sulit diramalkan, karena penerjemahan benda-benda yang ditandai dengan penanda-penanda linguistik di kedua bahasa tersebut sangat labil dan sulit diramalkan atau dijelaskan.

Pembedaan yang dilakukan Freud antara kata dan benda menunjukkan bahwa proses verbalisasi merupakan suatu persepsi kesadaran, sedangkan penindasannya merupakan suatu presentasi yang tidak dapat diungkapkan melalui kata-kata. Secara kebetulan, hal tersebut menjadi imaji verbal yang menjadi kesadaran. Aplikasi teori Freud dalam penerjemahan teater menghadirkan suatu pertanyaan penting, yaitu apa keterkaitan antara verbalisasi bahasa sumber (2) dan bahasa target (5)?

Di tahapan praverbal, presentasi benda adalah (1), (3), (4), dan (6) dan di sini gestur dan bahasa tetap tidak dibedakan. Dalam situasi ini, ketidaksadaran menjadi hal penting. Elemen gestur/praverbal (1), mises en jeu bahasa sumber (2) dan teks target (4) serta rancangan mise en scène (6) menampilkan kembali bagian tersembunyi dari bahasa sumber (3) dan bahasa target (5), atau ketidak sadaran dari sumber dramatik gestural dan teatrikal serta dari bahasa target. Setidaknya, gambaran situasi ujaran dalam teks linguistik dapat didudukkan, dan disampaikan dengan pembatasan potensinya dan mengadaptasinya dalam situasi yang konkret. Di tahapan verbal, presentasi kata dan pra-kesadaran tampil dalam verbalisasi bahasa sumber (2) dan verbalisasi bahasa target (5).

Keterkaitan antara kedua tahapan di atas, antara (2) dan (3) di satu sisi, dan antara (4) dan (5) di sisi lain, terjadi berkat hadirnya kesadaran yang dikenali oleh teks dan pertunjukan, kata dan gestur, kedekatan kata-kata linguistik dengan gestur dan situasinya, gambaran penyatuan kata dan gestur, yang disebut dengan language-body, ‘bahasa- tubuh’. Bahasa-tubuh adalah gabungan antara presentasi benda dengan presentasi kata yang dalam konteks teatrikal merupakan gabungan antara teks tutur dan gestur yang dilengkapi oleh penampilannya, yang dengan lain kata, gabungan tersebut menjadi suatu jaringan yang spesifik di mana teks mapan berkat gestur. Setiap karakter mise en jeu, yang kemudian menghadirkan rancangan mise en scène, ditentukan oleh spesifikasi tampilan hubungan antara teks dan gestur. Menerjemahkan karakter mise en jeu sumber ke karakter mise en jeu target merupakan transfer bahasa-tubuh dari satu sistem ke sistem lain. Maka dari itu, diperlukan ekivalensi presentasi kata dan presentasi benda yang benar sesuai dengan teks sumber. Bahasa-tubuh adalah orkestrasi—khususnya dari bahasa dan budaya—, gestur, irama ujaran dan teksnya. Orkestrasi simultan antara “aksi yang berbicara” dan “ucapan-dalam-aksi”. Harus diamati cara bagaimana teks sumber, dengan mengikuti mise en jeu sumber, mengaitkan gestur tertentu dengan ucapan ritmik dan teks; kemudian dicari bahasa-tubuh yang sesuai dengan bahasa target. Agar muncul dampak dari terjemahan teks dramatik, ditampilkan secara visual dan gestural bahasa-tubuh dari bahasa dan budaya sumber.

Tidak ada komentar:

PEREMPUAN MENCARI PENGARANG

PEREMPUAN MENCARI PENGARANG