Jumat, 20 Maret 2009

TEORI MISE EN SCÈNE PERTUNJUKAN TEATER

Patrice Pavis, Theatre at the Crossroads of Culture (New York: Routledge, London, 1992), 24—29


Patrice Pavis mengungkapkan bahwa analisis teatrikal secara teoretis mampu melekatkan teori pada praktik. Kerja teatrikal (Theaterarbeit)—yang merupakan istilah Bertold Brecht, penulis dan sutradara Jerman—menyarankan jalinan antara refleksi praktik dan aktivitas teori. Dalam rangka mengikuti perkembangan kerja teatrikal ini diperlukan model dialektika antara produksi dan resepsi teatrikal yang melangkah jauh melebihi skema klasik tentang komunikasi dan resepsi. Teori pertunjukan teatrikal memungkinkan hadirnya sebuah teori situasi resepsi yang berhubungan dengan konteks sosial dan evaluasi terus menerus dari penanda dan yang ditandai akibat perubahan yang juga terjadi terus menerus dalam konteks sosialnya.

Analisis dramaturgi klasik yang berusaha memberi tanda pada teks (naskah) drama dan menghadirkannya di atas panggung pertunjukan diubah menjadi praktik pemaknaan teatrikal yang memberi ruang bagi teks drama menjadi teks pertunjukan atau cara bereksperimen di atas panggung. Hal tersebut mengembangkan serangkaian penemuan baru yang bertentangan, saling tumpang tindih dan menjauh satu sama lain, serta meniadakan pusat produksi secara menyeluruh. Terjadilah pluralitas penanggapan yang dikukuhkan melalui peningkatan wacana panggung, yaitu aktor, musik, irama menyeluruh dalam penampilan sistem tanda, serta menghilangkan hirarki di antara sistem pertunjukan yang selalu berubah dan selalu baru. Maka dari itu, status teks drama secara radikal benar-benar diubah. Tidak hanya menyebabkan perlengkapan panggung menerjemahkan naskah dan juga bukan sekedar konstruksi fisik untuk memproyeksikan ideologi, akan tetapi merupakan obscure object of desire di mana wacana panggung hadir berkat keberagaman sudut pandang sebagai variasi yang tak terbatas dan tak terkait satu dengan yang lain.

Di sinilah kemudian muncul teori yang disebut Pavis dengan teori mise en scène. Mise en scène didefinisikan sebagai sistem penandaan yang hadir secara bersamaan atau berlawanan dalam ruang dan waktu tertentu di hadapan penonton. Mise en scène merupakan suatu entitas struktural, yaitu suatu objek teoretis atau objek pengetahuan yang mengganti keberadaan seorang sutradara dan seniman pencipta lainnya. Dalam wilayah kajian mise en scène perlu dibedakan antara teks drama dan teks pertunjukan. Teks drama merupakan naskah verbal yang dibaca dan didengar dalam pertunjukan. Teks ini merupakan teks yang ditulis sebelum pengarang drama pertunjukan hadir dan bukan teks yang ditulis dan hadir sesudah pelatihan improvisasi atau pertunjukan. Teks pertunjukan merupakan semua apa yang dicipta secara audio visual di atas panggung, tetapi belum dianggap sebagai suatu sistem makna, atau belum disebut sebagai suatu wilayah keterhubungan sistem penandaan pertunjukan sebelum mendapat tanggapan daria penonton.

Sebagai suatu sistem, kehadiran mise en scène dikarenakan penerimaan dan rekonstruksi oleh penonton berkat proses penanggapannya. Membaca mise en scène merupakan cara menginterpretasi sistem struktur yang diproduksi oleh artistik pertunjukan teatrikal. Tujuannya bukan untuk melakukan rekonstruksi kehendak seniman, tetapi membantu penonton memahami sistem artistik yang diproduksi oleh seniman pencipta. Dengan demikian, Pavis mengatakan bahwa teori mise en scène—setelah ditanggapai—menunjukkan bagaimana penciptaan makna pertunjukan teatrikal membayangkan suatu peradaban, yaitu suatu bentuk keterhubungan antarmakna yang terjadi pada saat berbagai sistem tanda saling terkait. Namun demikian, pada saat akan menanggapai mise en scène, penanggap sering terjebak dalam menganalisis peran dan fungsinya secara normatif terutama ketika sedang membangun makna. Oleh sebab itu, Pavis memberikan tujuh formula cara bagaimana memandang mise en scène.

Ø Formula Pertama, mise en scène bukan merupakan pengulangan dari teks drama, karena mise en scène bukan merupakan suatu pertunjukan dari elemen--elemen dramatik teks drama. Mise en scène menampilkan teks sebagai aktualisasi konkretiasasi tetarikal tentang suatu ungkapan kebenaran.

Ø Formula kedua, mise en scène tidak perlu ”mengabdi” kepada teks drama. Teks drama klasik, misalnya, tidak harus relevan dengan pertunjukannya di masa kini, karena teks tersebut telah memiliki bentuk dan maknanya berdasarkan estetika dan prinsip-prinsip ideologinya. Merupakan suatu kenaifan jika mise en scène menampilkan kembali mise en scène yang dimiliki teks drama. Apabila hal itu yang terjadi maka mise en scène hanya menjadi alat tiruan atau pengulangan.

Ø Formula ketiga, sebaliknya, mise en scène tidak harus ”meleburkan” teks drama ke dalam pertunjukan. Teks harus tetap menjadi teks verbal meskipun telah dipanggungkan. Penonton tetap tidak akan sempat untuk membayangkan jarak waktu antara teks dan pertunjukan, meskipun keduanya tampil secara bersamaan. Dalam hal ini, mise en scène tetap menjaga watak pembedanya. Perbedaan tersebut akan menghadirkan interpretasi terus menerus dari penanggapnya yang kemudian menghadirkan teatrikalitas yang berbeda. Seperti pertunjukan Mahabharata yang dihasilkan Peter Brook. Ia menampilkan mise en scène teks pertunjukan Mahabharata yang berasal dari budaya India dengan mise en scène yang bukan murni budaya India.

Ø Formula keempat, adanya mise en scène yang berbeda-beda dari teks drama yang sama dalam waktu sejarah yang berbeda menunjukkan adanya proses membaca teks yang sama. Teks lama tidak berubah, tetapi semangatnya tentu saja mengalami perubahan. Teks, menurut Roman Ingarden dan Felix Vodička dipahami sebagai hasil dari suatu proses konkretisasi. Menurut Jan Mukařovský, seperti yang dikutip Pavis, konkretisasi adalah totalitas konteks dari berbagai fenomena sosial, ilmu, filsafat, agama, politik, ekonomi, dan sebagainya dari lingkungan saat itu yang terjadi dengan cara yang berbeda-beda. Maka dari itu konkretisasi teks drama akan mengalami kemungkinan modifikasi untuk direkonstruksi.

Ø Formula kelima, mise en scène bukan representasi referensi teks-teks di atas panggung pertunjukan. Lebih jauh lagi, referensi teks tidak dapat ditangkap jelas. Hal itu dikarenakan teks pertunjukan merupakan simulasi atau ilusi yang ditampilkan melalui tanda-tanda yang secara konvensi disampaikan melalui simbol-simbol. Semua teks drama pasti memiliki ruang-ruang kosong dan membutuhkan mise en scène untuk menampilkannya di atas panggung pertunjukan. Daripada mencoba menemukan ruang-ruang kosong tersebut, Pavis menyarankan lebih baik mencoba memahami proses determinasi dan indeterminasi yang ditampilkan oleh teks drama dan pertunjukannya; mise en scène mampu mempertebal fungsi pengosongan atau pengisian kembali ruang kosong tersebut.

Ø Formula keenam, mise en scène bukan campuran antara referensi teks drama dan referensi pertunjukan, tetapi mise en scène merupakan teori fiksi yang diciptakan dan diperuntukkan bagi penonton. Fiksi dapat dipandang sebagai ”istilah abu-abu”, sebagai suatu mediasi antara apa yang dinarasikan teks drama dan apa yang ditampilkan kembali dalam teks pertunjukan. Mediasi dianggap dapat dihasilkan oleh teks dan representasi visual fiksi yang dianalisis oleh penanggapan, serta ditampilkan oleh pertunjukannya. Hipotesis ini menunjukkan bahwa memang ada keterkaitan antara teks drama dan pertunjukannya. Hal itu bukan suatu terjemahan atau reduplikasi teks ke panggung, tetapi merupakan suatu pemindaian dan penabrakan dunia fiksi yang dikonkretisasi oleh teks dengan dunia fiksi yang diproduksi oleh panggung. Kedua dunia fiksi inilah yang selalu menjadi wilayah penanggapan baik dari seniman maupun penanggap.

Ø Formula ketujuh, mise en scène bukanlah suatu realisasi performatif dari teks drama. Meskipun dalam teks drama tersebut terdapat juga arahan yang dapat menggiring seniman ke arah pembentukan mise en scène panggung, misalnya, sutradara atau penonton tidak perlu mengikuti cara arahan tersebut. Sutradara bebas memilih apakah ia akan menggunakan cara arahan dalam teks drama ataukah tidak menggunakannya. Berdasarkan teori mise en scène, sebenarnya tidak tepat jika sutradara mengikuti arahan mise en scène teks sebagai arahan yang absolut, tetapi arahan tersebut seharusnya menjadi diskursus kemungkinan-kemungkinan kreativitasnya.

Ketujuh formula Pavis di atas diperlukan untuk, pertama, menunjukkan perlunya teori mise en scène membuat beberapa hipotesis bagaimana mise en scène memantapkan jaringan keterkaitan antara teks drama dan teks pertunjukannya. Kedua, dengan menggunakan teori mise en scène dimungkinkan penanggap mengamati pertunjukan teatrikal sebagai penampilan tanda-tanda tekstual yang logis dan kronologis. Artinya, penampilan mise en scène tidak lagi menjadi suatu bentuk transformasi, tetapi menjadi bentuk uji coba teoretis yang mendudukkan penulisan teks drama dan penciptaan teks pertunjukannya setara. Ketiga, menggunakan teori mise en scène juga dapat menguji bagaimana panggung dan elemen pertunjukannya memberi ruang hadirnya beragam interpretasi terhadap teks drama. Keempat, oleh karena itu, menggunakan mise en scène menyebabkan usaha interpretasi suatu pertunjukan teatrikal dapat menghasilkan mekanisme resepsi pertunjukan. Proses konkretisasi tidak hanya ditentukan oleh perubahan-perubahan konteks sejarah, tetapi merupakan hasil penanggapan individual terhadap teks yang sama oleh orang yang berbeda-beda. Penanggap bukan satu orang tetapi penanggap kolektif. Hasil penanggapan mereka akan menyebabkan mise en scène menjadi aktual. Aktualisasi tersebut bukanlah perubahan dari verbal menjadi non verbal, tetapi bagaimana mise en scène menyebabkan teks verbal berbicara melalui apa yang dikatakan dan ditampilkan di atas panggung pertunjukan. Maka dari itu, mise en scène berbicara melalui penampilan tidak melalui kata-kata semata; mise en scène berbicara tidak dalam bentuk verbal tetapi ikonik. Bentuk ikonik berpengaruh besar pada penanggapan penonton. Pertunjukan teatrikal yang disukai penonton adalah ketika aktor tidak mengatakan apa yang dikatakan, tetapi bagaimana aktor menampilkan mise en scène berupa persepsi-persepsi irama diskursus visual yang ditampilkan secara berbeda-beda, serta alunan gerak teks dan auditifnya.

Merasuknya teori mise en scène Pavis ke dalam penanggapan peristiwa teater, tentu saja mempengaruhi praktik penanggapan penonton dengan memisahkan produksi pertunjukan teatrikal dari aktivitas penanggapannya. Misalnya dalam karya-karya teatrikal semacam bentuk teater eksperimental, teater rakyat, teater multikultur, teater kolaborasi, happening, dan performance art, teori dan proses produksi pertunjukan yang dimaknai melalui penanggapan mise en scène mendapat tantangan untuk diperbarui. Dengan demikian, penonton mampu mengkonkretisasikan proses penanggapannya.

Tidak ada komentar:

PEREMPUAN MENCARI PENGARANG

PEREMPUAN MENCARI PENGARANG