Kamis, 27 Agustus 2009

BAGAIMANA MENONTON TEATER LELAKI AYU DAN NURANI GARAPAN PEREMPUAN?

Memberi tanggapan terhadap wartawan Minggu Pagi, Mg-5, tertanggal 14 Agst’09 tentang pertunjukan Lelaki Ayu dan Nurani (LAD) karya Lembaga Teater Perempuan dengan sutradara Yudiaryani terasa absurd karena berkomunikasi layaknya dengan penonton pemula. Namun sebagaimana tugas teatrawan Jogja membimbing penulis-penulis semacam itu, tidak ada salahnya diskusi coba dilayangkan. Tulisan seorang wartawan, khususnya tentang teater, seharusnya mampu memberi gambaran lengkap tentang pertunjukan yang ditulisnya kepada pembaca atau penonton. Baik tulisan itu merupakan informasi semata maupun komunikasi dialektis. Baik wartawan itu suka atau tidak suka dengan pertunjukan. Tulisan yang bernada menghakimi menunjukkan bahwa penulis tidak mampu menggunakan instrumen jurnalistik yang dimiliki untuk memaknai dan mengembangkan penawaran wacana pertunjukan.
Sebuah pertunjukan teater ‘pasti’ menawarkan sebuah ide atau ideologi untuk disampaikan kepada penonton. Tugas teatrawan adalah mengkonkretisasikan ideologi ke dalam spektakel pertunjukan agar ideologi sumber yang dianutnya mampu ditransmisikan kepada penonton sebagai target. Permasalahan muncul ketika penonton tidak mengenali bahkan memahami ideologi sumber, sehingga feminisme yang menjadi dasar bagi terselenggaranya pertunjukan teater LAD harus teridentifikasi terlebih dahulu. Mengingat begitu banyaknya gagasan feminisme yang digunakan untuk menganalisis kesenian, maka ada dua strategi LTP untuk menyampaikan identifikasi ide feminisme. Jika penulis Mg-5 cermat ‘membaca’ pertunjukan LAD akan dipahami adanya dua strategi yang diusung LTP. Pertama, nama LTP (Lembaga Teater Perempuan) jelas merefleksikan ideologi tersebut. Naskah yang ditampilkan Lelaki Ayu dan Nurani mengejawantahkan pula ide tersebut. Kedua, pengambil keputusan, penulis drama, dan sebagian besar pemeran adalah perempuan. Kedua strategi tersebut diharapkan mampu menampilkan spektakel pertunjukan dengan semangat feminisme.
Ideologi feminisme bagi laki-laki terasa klise, konvensional, membosankan, tetapi bagi perempuan tidak ada istilah gagap untuk mensikapinya. Bahkan perempuan menonton pertunjukan perempuan sering mengistilahkan dengan ‘aku banget’ (meminjam istilah remaja masa kini). Persoalan Mg-5 gagap menangkap makna pertunjukan LAD adalah sikap yang lain. Ia gagap ketika mencoba memahami spektakel pertunjukan teater. Dibutuhkan pengalaman, pengetahuan, bahkan kecerdasan tertentu menangkap makna simbolik di balik audio visual pertunjukan teater perempuan. Pahamkah anda dengan kerja penyutradaraan, pemeranan, dan penataan artistik? Kenalkah anda dengan kerja penyutradaraan yang mengolah aksi, ruang, garis, bentuk, warna, suasana sebagai materinya, serta mencipta komposisi, pengadeganan, gerak dan gerakan berpindah, penghayatan dramatik, dan irama permainan sebagai tekniknya? Jika anda mengerti kerja tersebut, mungkin anda dapat memandang persoalan LAD menjadi lebih jernih.
Mampukah anda menangkap bagaimana selama 6 bulan seorang pemeran perempuan berlatih mengusung kursi besi di atas kepala, dan di bahunya sambil menari dan berdialog untuk menunjukkan gestur keperkasaan seorang perempuan ketika harus berjuang mempertahankan eksistensinya di ranah publik sekaligus domestik? Dapatkah anda melihat bagaimana cekatan dan tangkasnya pemeran perempuan menghindari pukulan tongkat pemeran laki-laki sebagai simbol bagaimana pongahnya seorang laki-laki meminggirkan kehendak perempuan untuk bersikap dan berbicara? Mampukah anda menyaksikan bagaimana pemeran laki-laki dan perempuan berebut peran, berebut tahta, dan berebut untuk tidak mau mengalah mengisi ruang kesempatan? Cerdaskah anda menangkap kegetiran hidup perempuan yang selalu ‘kalah’ oleh opini laki-laki melalui simbol gerak melompat, menendang, dan jungkir balik?
LTP tetap mengacu pada idiom tradisi, baik kostum rias dan musik. Mengacu pada pendapat Rendra, pelestarian tradisi tidak harus menyebabkannya seperti kasur tua yang hanya untuk tidur-tidur siang. Tradisi harus menteks dan mengkonteks; tradisi harus digali kembali daya hidupnya. Jangan harap menyaksikan spektakel tradisi dalam LAD alon-alon asal kelakon; semangat tradisi harus disegerakan. Taksu, nges, dan daya hidup tradisi harus dipertimbangkan kembali.
Jangan harap melihat pertunjukan teater yang ditampilkan perempuan akan penuh dengan air mata kekalahan. Tidak akan pernah disaksikan pertunjukan LTP yang penuh teriakan aksi perempuan dengan kepalan tangan teracung minta dihormati. TIDAK. Berangkat dari semangat jujur pada proses dan setia pada komitmen, LTP tetap mengedepankan kritik terhadap budaya patriarki melalui ciptaan panggung teater yang cerdas, cekatan, perkasa, dan nges khas perempuan.
Sebagai karya seni, LAD diproduksi selama lebih dari enam bulan. Festival Teater Yogyakarta 2009 harus disikapi tidak dengan sebelah mata. Partisipasi setiap kelompok teater diharapkan optimal, yang seharusnya juga disambut dengan kerja optimal panitia. Kerja keras dari mulai rekruitmen pemain, pencarian lokasi pertunjukan, hingga pencarian sponsor membuat kelompok Lembaga Teater Perempuan (LTP) memang ‘jungkir balik’. Seminggu sebelum pentas, belum ada informasi kepada penonton, baik poster, spanduk, berita di koran, maupun iklan radio oleh panitia. Terpaksa semua masalah manajemen produksi ditangani oleh LTP. Kondisi tersebut tidak terlihat oleh sang Wartawan Mg5 terhormat. Bahkan hanya melalui tidak lebih dari 120 kata, kerja keras tersebut menjadi tidak berarti. Anda memiliki ruang di harian Minggu Pagi yang terhormat, tetapi kegiatan festival yang sebenarnya cukup bergengsi ternyata tidak didukung oleh Mg-5 secara proporsional. Apakah Minggu Pagi keliru mengirim wartawannya, ataukah wartawannya yang memang gagap dengan pertunjukan teater?
Mg5 mengutip pendapat Grotoswski. Mengertikah anda dengan konsep-konsepnya Poor Theater, Via Negativa, Laboratory Theatre, theatre of the sources, yang digagasnya? Jangan mengutip pendapat teoretis yang tidak benar-benar anda pahami. Apa kaitan Grotowski dengan LAD? Mampukah anda memaknai kalimat Rustom Barucha, kritikus teater, Goodbye Grotowski? LTP sangat berbahagia jika penulis mampu membeber teori Grotowski untuk memaknai pertunjukan LAD.
Jadilah wartawan yang mampu mendukung atmosfir berteater yang kondusif di Yogyakarta. Jangan lagi teater Yogya mengalami paceklik kreatif seperti teater tahun ‘90-an. Keberhasilan ditentukan oleh daya hidup yang disatukan antara seniman, penonton, dan pengamat teater di mana kritik tidak diam, tontonan tidak padam, dan penonton tidak hilang. Seniman yang berkarya dengan hasil yang biasa-biasa saja dan disaksikan penonton yang awam seni seharusnya tetap mendapat hak hidup di tengah kepongahan dan kekuasaan liberalisasi kata dan kalimat. SEMOGA.

Yudiaryani
Pimpinan Artistik LTP. Sutradara LAD

PEREMPUAN MENCARI PENGARANG

PEREMPUAN MENCARI PENGARANG