Jumat, 20 Maret 2009

Dramaturgi


Di masa kini, perlu kiranya membaca ulang tentang pemanfaatan pendekatan dramaturgi bagi pertunjukan teater. Bidang ilmu nonestetik, seperti sosiologi, semiologi, Antropologi, Sejarah, dan sebagainya telah membantu peneliti membaca makna pertunjukan teater, baik pemanfaatannya bagi ritual, estetis, maupun masyarakat. Perkembangan kategori pertunjukan teater dan juga perkembangan elemen artistik pertunjukan, membutuhkan pendekatan yang kiranya lebih tertuju pada penciptaan elemen-elemen pertunjukan teater. Dramaturgi yang berarti drama-ergon, adalah ilmu tentang drama, tentang tokoh yang membangun aksi-aksi bersebab-akibat, suatu kerja yang menampilkan aksi dan plot. Eric Bentley menyebutnya dengan A membuat B untuk C. Pertunjukan teater memberi kemungkinan pada seniman untuk berkomunikasi dengan penonton dalam ruang dan waktu yang berbeda-beda.

Dramaturgi sebagai pendekatan perlu kiranya dikembangkan fungsinya untuk membaca pertunjukan. Sebagai ilmu tentang drama, dramaturgi menyediakan ”ruang” untuk ditafsir kembali demi fungsi dan perannya di masa kini. Dramaturgi menjadi ilmu tentang teks. Perbedaan antara dramaturgi sebagai ilmu tentang drama dan tentang teks tampak melalui pernyataan Aristoteles dan Eugènio Barba. Aristoteles membedakan dua wilayah kajian drama, yaitu drama sebagai naskah tertulis dan drama yang ditampilkan di atas panggung. Dramaturgi naskah menjadikan keberadaan naskah berbeda dengan pertunjukan, yang pertama merupakan isi kandungan dari yang kedua. Naskah pertama disebut naskah drama/lakon, sedangkan tampilannya disebut teater. Drama tertulis ditransformasikan ke dalam pertunjukan teater. Menurut Eugènio Barba, dramaturgi adalah kajian teater yang digunakan untuk membicarakan teater sebagai pertunjukan daripada teater sebagai ”kelanjutan” naskah drama. Barba menyebut teater sebagai teks. Kata teks berasal dari kata tekstur yang berarti ‘rajutan bersama’. Dramaturgi dalam hal ini adalah ilmu tentang teks, dramaturgi tekstual. Dalam pengertian ini, tidak ada pertunjukan yang hadir tanpa rajutan bersama, tanpa teks. Konkretnya, pertunjukan teater adalah aksi teatrikal yang terkait dengan dramaturgi.

Richard Schechner membuat teori pertunjukan yang membedakan antara drama, transkrip, teater, dan pertunjukan. Drama adalah wilayah penulis, komposer, skenaris, saman; transkrip adalah wilayah guru, empu; teater adalah wilayah penampil; pertunjukan adalah wilayah penonton. Di beberapa situasi, penulis adalah juga empu sekaligus penampil; di berbagai situasi penampil juga penonton. Batasan antara pertunjukan dan keseharian saling bertukar tempat, sangat beragam dari budaya satu ke budaya lain dan dari satu situasi ke situasi berikutnya. Adanya perbedaan budaya menandai terjadinya perbedaan batasan. Misalnya, persiapan dimulai kapan saja dari beberapa menit sebelum pertunjukan (tindakan improvisasi teater daerah), hingga beberapa tahun sebelum pertunjukan. Teater berada di posisi di antara luasnya wilayah pertunjukan, dan pusat teater terdapat skrip/naskah, terkadang drama. Drama dapat dianggap sebagai suatu jenis pertunjukan khusus. Maka model lain dapat digenerasikan dari lingkaran tersebut dan pasangan lain dibuat secara berseberangan. 1

Drama: Lingkaran terkecil, paling intensif. Teks tertulis, skenario, instruksi, rancangan, atau peta. Transkrip dapat di bawa dari satu tempat ke tempat lain atau dari satu waktu ke waktu lain oleh seseorang atau masyarakat yang memilikinya. Orang-orang ini mungkin hanya semacam ”pembawa pesan”, bahkan mereka tidak dapat membaca drama tersebut, juga tidak dapat memahami atau memainkannya.

Transkrip: Segala hal yang dapat ditransmisikan dari waktu ke waktu dan dari satu tempat ke tempat lain; aturan dasar peristiwa pertunjukan. Transkrip ditansmisikan dari satu orang ke orang lain, dan mereka yang mentransmisikan tidak sekedar membawa pesan. Si pembawa pesan harus mengenali transkrip dan mampu mengajarkannya pada orang lain. Pengajaran harus direncanakan atau melalui empatetik dengan cara-cara yang empatik.

Teater: Peristiwa yang digelar oleh sekelompok pemain tertentu; apa yang biasanya dilakukan oleh pemain selama produksi. Teater tampil secara konkret dan langsung. Biasanya, teater merupakan manifestasi atau representasi dari drama dan/transkrip.

Pertunjukan: Lingkaran paling luar, lingkaran yang paling sulit didefinisikan. Seluruh konstelasi peristiwa, sebagian besar di antaranya muncul tidak terduga, baik di antara pemain maupun penonton dari saat pertama penonton masuk wilayah pertunjukan – tempat di mana teater tampil – hingga saat meninggalkan pertunjukan.

Semakin besar ukuran lingkaran, semakin banyak ruang dan waktu di dalamnya, dan semakin luas ”area ide” yang ditangani. Biasanya, lingkaran yang paling besar mengandung di dalamnya lingkaran-lingkaran yang lebih kecil. Lingkaran Schechner dapat dibandingkan atau dibaca kembali dengan pemahaman teks-konteks yang menjadi inti gagasan Barba. Bahwa pertunjukan teater adalah suatu peristiwa yang berbagai teks dan konteks. Kehadiran sebuah teks karena ada konteks yang menyertainya.

Teater

Kata ’teater’ berasal dari kata theatron, kata Yunani yang berarti seeing place, tempat tontonan. Theatron digunakan untuk menggambarkan bangku-bangku yang berputar setengah lingkaran dan mendaki ke arah lereng bukit yang berfungsi sebagai tempat duduk penonton ketika drama Yunani Klasik berlangsung. Teater juga berarti seni drama; sandiwara; pertunjukan drama yang diperlakukan sebagai suatu karya seni atau profesi. Istilah ’seni teater’ digunakan untuk menyebut beragam ketrampilan seni yang terlibat di dalam seni pertunjukan teater. Keterlibatan seni di dalamnya rumit dan menantang, serta memiliki silang sengkarut bahkan kerancuan cukup tinggi ketika keterlibatan tersebut dipertunjukkan. Makna penting kata ‘teater’ adalah pengelolaan pertunjukan dramatik melalui tampilan spektakel. Makna tersebut diberlakukan pada pertunjukan dramatik itu sendiri, dan juga pada naskah tertulis. Pertunjukan dramatik hadir dalam wujud drama, sastra drama, teater modern, kerja kolektif dramatik, produksi teatrikal. Kata theatric,—yang berarti seni memproduksi efek-efek yang sesuai untuk tampilan teatrikal—termasuk sebagai pertunjukan dramatik, tetapi kata teatrik jarang digunakan. Teater juga sering digunakan untuk menyebut nama bagi seluruh wilayah presentasi teatrikal dengan beragam seni yang terlibat.

Saat ini istilah ’teater’ masih tetap digunakan sebagai tempat atau gedung pertunjukan, dan juga dapat digunakan untuk berbicara tentang sebuah karya seni, serta dapat menunjukkan sebuah kejadian atau peristiwa yang sedang berlangsung dalam masyarakat. Maka dari itu, dengan menggunakan kata ”teater”, mampu diketahui seluruh warisan budaya sastra dan drama, atau bahkan hanya beberapa wujud pertunjukan, seperti mimik, pantomimik, opera, monolog, wayang kulit, dan wayang orang. Bahkan secara tersirat, teater dan elemen-elemen pertunjukannya digunakan dalam lingkup wilayah politik dan operasi militer, misalnya istilah ’aktor otak kerusuhan, ’drama pembajakan’, panggung politik’, ’negara teater’, dan sebagainya. Teater, dengan demikian, adalah perwujudan beragam kerja artistik, dengan aktor menghidupkan peristiwa dan tokoh, tidak direkam tetapi langsung. Terdapat tiga ide dasar untuk memaknai teater, yaitu pertama, gedung teater dengan perlengkapan fisiknya. Kedua, sebuah teks sastra yang ditulis untuk kepentingan pertunjukan di gedung teater, atau semacam gedung pertunjukan. Ketiga, presentasi teatrikal atau penciptaan dramatik yang berlangsung di atas panggung teater. Masing-masing ide menampilkan tipe media, proses, dan produk yang berbeda-beda.

Ide pertama melibatkan seni arsitektur. Gedung teater adalah produk arsitektur beserta ketrampilan di dalamnya, seperti penataan akustik dan penataan cahaya lampu. Wujud gedung tergantung pada fungsi pengesetan demi penampilan pertunjukan teatrikal. Penataan artistik dan konstruksi gedung teater menjadi bagian seni arsitektur dan seni yang terkait di dalamnya.

Ide kedua melibatkan cabang sastra drama tertulis dalam wujud prosa dan puisi. Drama harus dibedakan dengan teater. Drama merupakan rangkaian arahan bagi detil laku dan pemanggungan. Sebagai karya sastra, drama memiliki arti yang berbeda dengan teater, yaitu drama dibaca dan dianalisis dengan diam seperti cabang sastra lainnya. Media dan ketrampilan penulisan drama terkait dengan pengaturan kata-kata sebagai simbol tulisan.

Drama

Agar tidak membingungkan dengan istilah teater, drama sering disebut dengan ’drama sastra’, ’sastra dramatik’, ’teks dramatik’, ’skrip dramatik’, ’penulisan dramatik’,’naskah drama’, atau lakon. Dengan demikian, drama didefinisikan sebagai berikut.

Drama merupakan komposisi verbal yang diadaptasi atau diolah bagi kepentingan pertunjukan teatrikal; biasanya berbentuk kata-kata yang diucapkan, dan di dalamnya berisikan beberapa arahan bagi laku dan detil-detil pertunjukan; sebuah naskah drama; juga, merupakan komposisi seni penulisan. Tipe drama adalah tragedi, komedi, tragikomedi, drama keajaiban, drama moral, opera, banyolan, melodrama, drama film.2

Definisi drama juga terkadang digunakan secara luas, misalnya untuk menyebut tulisan atau rangkaian tulisan tanpa tambahan kalimat dramatik yang menjadi arahan bagi pertunjukan pantomimik, dan arahan tersebut cenderung dianggap sebagai bukan karya sastra.

Ide ketiga, mengacu pada penampilan atau pertunjukan. Meskipun sering ditampilkan di gedung pertunjukan (prosenium, lambur, atau arena), teater dapat dipertunjukkan di wilayah mana saja. Mahabharata Peter Brook ditampilkan di gedung bekas stasiun kereta api di Inggris. Karya-karya Shakespeare di mainkan di hadapan publik Sydney, Australia, di tengah kota tanpa panggung pertunjukan. Di dalam sebuah pertunjukan teater, berbagai aspek selain drama dapat ditampilkan, seperti konser, sastra, dakwah agama, dan sebagainya. Hubungan antara drama dan teater sangat erat dengan masing-masing saling mendukung. Pada saat kedekatan hubungan tersebut terpahami, kerancuan penyebutan istilah ’tontonan dramatik’, ’penampilan dramatik’, atau ’pertunjukan dramatik’ dapat dihindari sehingga istilah yang lebih luas dapat digunakan, yaitu drama dan seni dramatik. ’Pertunjukan teatrikal’ menjadi istilah yang tepat bagi suatu pertunjukan teater. Istilah ’teatrik’ tidak terlalu sering digunakan, tetapi istilah ’seni teatrikal’ biasa digunakan. Istilah seni teatrikal tersebut menunjuk bahwa terdapat beberapa ketrampilan seni yang berbeda terlibat di dalamnya. Definisi pertunjukan teatrikal sebagai berikut.

Seni teater atau penampilan teatrikal adalah kombinasi seni yang menghasilkan efek-efek yang sesuai bagi pertunjukan teatrikal atau penciptaan dramatik, terutama bagi drama ucapan di sebuah gedung teater. Pertunjukan teatrikal merupakan gabungan ketrampilan seni, seperti seni peran, penyutradaraan, desain panggung, pemanggungan, penataan kostum dan rias, penataan lampu, musik, tari, dan film. Permainan, opera, vaudeville, dan balet sering disebut sebagai pertunjukan teatrikal.3


Analisis Tekstual Pertunjukan

Marco de Marinis, 1993. The Semiotics of Performance, terj. Aine O’Heady, (Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press)

Analisis tekstual pertunjukan Marco de Marinis mengungkapkan titik kontak pertemuan antardisiplin dalam kajian teater. Analisis terjadi dengan semua kemungkinan sumbangan teoretis yang ditempatkan dalam paradigma teoretis yang telah mapan, seperti sejarah teater, estetika teater, dan kritik teater. Analisis tekstual pertunjukan menghadirkan “konstruksi” objek teater baru, yaitu teks pertunjukan yang merupakan hasil dari pemahaman pertunjukan teater sebagai suatu objek material dalam paradigma semiotik teater. Analisis juga berfungsi sebagai suatu prinsip penjelasan, seperti suatu model analisis deskriptif, yang terkait dengan fenomena teater yang konkret.

Dengan analisis tekstual, Marinis tidak bermaksud mengusulkan suatu model pertunjukan yang dipahami sebagai suatu model bagi semua pertunjukan, tetapi suatu objek teoretis yang menggambarkan dan memberikan sebanyak mungkin struktur pada suatu aspek pertunjukan teater, yaitu elemen tekstual dan hanya mengacu pada peristiwa yang sedang terjadi. Tujuan analisis tekstual pertunjukan adalah untuk menganalisis elemen pertunjukan, mekanisme progresi tekstual yang membimbing produksi makna, dan keberadaan strategi komunikasi dengan penonton dalam konteks pertunjukan.

De Marinis menyatakan bahwa analisis tekstual pertunjukan digunakan tidak pada semua elemen pertunjukan teater, tetapi pada bahasa dan teknik ekspresi, proses kreatif seniman, dan dinamika komunikasi antara teater dan penontonnya. Di dalam kerja analisis tersebut ditampilkan fenomena lakuan dan kemurnian ekspresi estetis budaya tertentu dengan pelatihannya. Seluruh perhatian analisis tekstual pertunjukan terpusat pada persoalan analisis dan resepsi pertunjukan. Hal tersebut menyebabkan analisis tekstual pertunjukan teater terkait dengan beberapa teori lain, seperti teori teks, interteks, dan resepsi dalam memaknai peristiwa teater.

Pertunjukan teater dipahami sebagai fenomena kesenian yang dihasilkan dari jaringan berbagai elemen ekspresi. Elemen-elemen tersebut diorganisasi untuk menghasilkan sebuah ”rekonstruksi” tekstual yang kemudian menghasilkan suatu produksi komunikasi dan penandaan dari penonton. Beragam elemen ekspresi tersebut merupakan konteks yang diperhitungkan relasinya melalui perbedaan antara cara penyampaiannya dengan tanggapannya. Analisis tekstual pertunjukan de Marinis berfungsi melacak peristiwa-peristiwa teater dengan interpretasi penonton setelah menonton. Dengan menggunakan resepsi penonton, analisis tersebut mengkaji teater dengan mendeskripsikan teater baru dan rekonstruksi teater masa lalu. Di dalam proses rekonstruksi, analisis tekstual pertunjukan menghadirkan kembali konteks pertunjukan yang ”hilang”, yaitu yang ditinggalkan penciptanya. Di dalam mendeskripsikan pertunjukan teater, analisis tekstual pertunjukan membentuk suatu model tersendiri dan langsung yang berfungsi mengembangkan sistem notasinya, yaitu tahapan pelatihan gerak tubuh pelaku, proses penyutradaraan, dan strategi komunikasi dengan penonton di dalam konteks pertunjukan. Lebih dari itu, analisis tekstual pertunjukan teater menumbuhkan tindak penanggapan penonton untuk memaknai peristiwa-peristiwa sosial yang muncul sebagai dampak kehadiran sebuah karya seni. Sebaliknya, kehadiran sebuah karya seni yang mempengaruhi secara langsung atau tidak langsung tindak penanggapan penonton mencipta sebuah gerakan kebudayaan. Dengan demikian, pertunjukan teater dianalisis secara tekstual jika memiliki persyaratan minimal, yaitu memiliki keutuhan dan keterkaitan antarproperti pertunjukannya yang melibatkan interpretasi penonton.

Tanggapan penonton—termasuk di dalamnya kritikus dan teoretikus—dengan proses pembacaannya menggeser cara menganalisis pertunjukan teater. Pertunjukan teater tidak hanya sebagai hasil ekspresi seniman, tetapi juga sebagai hasil resepsi penonton. Marinis menyebutkan bahwa tanggapan penonton terhadap teks pertunjukan berada di tiga wilayah, yaitu, pertama, wilayah keterkaitan antara teks pertunjukan dengan sumbernya yang berada pada dinamika ucapan dan intensitas komunikasi senimannya. Kedua, wilayah keterkaitan antara satu teks dengan teks lain dengan memilih konteksnya, praktik teks, dan interteks di dalam pertunjukan. Ketiga, wilayah keterkaitan antara teks pertunjukan dan makna dan interpretasi penerimanya.

Menganalisis ketiga wilayah pragmatik di atas dilakukan melalui dua cara, yaitu cara kontekstual dan ko-tekstual. Analisis kontekstual berhubungan dengan aspek eksternal teks pertunjukan, yaitu aspek konteks budaya dan konteks pertunjukan. Konteks budaya terkait dengan hubungan yang dapat diamati antara teks (atau salah satu elemennya) dengan teks lain. Teks lain berarti teks pertunjukan atau bukan teks pertunjukan, tetapi memiliki budaya sinkronis. Konteks pertunjukan berhubungan dengan semua hal yang terkait dengan situasi pertunjukan, ekspresi, dan resepsinya, termasuk tahapan-tahapan pertunjukannya. Misalnya, pelatihan seni peran dan semacamnya, serta semua aktivitas teater lainnya yang menghasilkan saat-saat pertunjukan. Analisis ko-tekstual berkaitan dengan aspek teks pertunjukan secara internal, yaitu materi dan properti pertunjukan serta teknik ekspresinya, keberagaman kode dan perubahan durasi pertunjukan dengan tahapan strukturisasinya, seperti kode dan struktur tekstual.

Adapun analisis tekstual pertunjukan—dapat disebut pula sebagai teori pertunjukan teatrikal—menganalisis:

1. bahasa dan teknik ujaran yang digunakan;

2. proses kreatif seniman;

1. seni peran ”baru” yang mengolah kemurnian dan kekhasan penampilan fisik di dalam dan di antara berbagai ungkapan budaya;

2. pertunjukan yang menggunakan pelatihan eksperimental;

3. pertunjukan dengan beragam cara berkomunikasi antara pelaku dan penonton;

4. gerakan aktor seperti kinesik dan proksemik.

Menganalisis teater dengan teori pertunjukan teater de Marinis merupakan suatu pengembangan kerja analisis semiotik teater. Artinya, bahwa semiotik teater ditempatkan bukan menjadi suatu disiplin kajian, tetapi direduksi menjadi suatu metode. Perubahan ini menyebabkan semiotik teater menjadi kajian multidisiplin dengan karakter metodisnya yang membuka batas wilayah interpretasi pembaca yang beragam. Perubahan wilayah analisis menjadi wilayah metodologis tersebut menunjukkan semiotik mengalami perubahan dalam dirinya sendiri. Fungsi sistem penandaannya dapat berbicara tentang hal yang lain, selain berbicara tentang sistem tanda, yang berkaitan dengan deskripsi pertunjukan teater baru dan rekonstruksi pertunjukan masa lalu. Perubahan semiotik teater dari suatu disiplin kajian menjadi suatu metode mendekatkan teori teater dengan praktik teater. Artinya, analisis tekstual pertunjukan memungkinkan hadirnya suatu teori situasi resepsi pertunjukan yang berkaitan dengan konteks sosial dan evaluasi dari kehadiran seni pertunjukan baru dan maknanya yang diakibatkan perubahan yang terjadi dalam konteks sosialnya. Analisis menghasilkan suatu penulisan yang meminggirkan tanda dan mengabadikan posisi makna yang secara terus menerus menghilangkan tanda.


Teori Teks dan Interteks Pertunjukan Teater


Teks memiliki fungsi sebagai berikut, pertama sebagai kegiatan kontroversial yang menepis pengarang sebagai suatu pusat, pembatas, penentu kebenaran, suara dan makna. Kedua, sebagai tampilan fenomenal yang berbentuk rajutan kata-kata yang diatur agar menghasilkan makna. Ketiga, menghasilkan pembacaan dan penulisan makna dengan menghilangkan tanda. Keempat, mengaktualisasikan kembali praktik sosial yang terlibat di dalamnya. Kelima, menyebarkan kembali kiriman bahasa untuk kepentingan komunikasi ucapan yang terkait dengan ucapan-ucapan yang berbeda.1

Perkembangan fungsi teks tersebut menyebabkan teks tidak lagi merupakan suatu praktik penandaan, tetapi praktik produksi, yaitu mempertemukan produser dengan pembacanya. Segera setelah teks dianggap sebagai produksi (proses dan bukan produk), praktik penandaan tidak lagi menjadi konsep yang memadai. Teks menjadi ruang polisemik di mana langkah-langkahnya menjalin beberapa kemungkinan makna, sehingga praktik membaca teks menggantikan peran menandai teks. Pembacaan mengakibatkan teks menjadi suatu produksi yang berkelanjutan di mana subyeknya tetap harus berjuang. Subyek tidak lagi subyek pengarang tetapi subyek pembaca. Teks tidak hanya mengembangkan luasnya kebebasan membaca tetapi menuntut juga kesamaan produktivitas antara menulis dan membaca. Berbagai makna yang diakibatkan oleh tindak kebebasan pembacaan tersebut menyebabkan teks bersifat plural. 2

Pada saat teks bersifat plural, keberadaannya tergantung pada cara menganalisis. Teori teks menjadi analisis tekstual. Analisis tersebut berlangsung pada sosialisasi persepsi, inteleksi, tanda, tata bahasa, dan bahkan ilmu. Agar analisis atau praktik tekstual pertunjukan teater berfungsi, perlu kiranya menempatkan pertunjukan teater sebagai sebuah teks. Teks menggambarkan bentuk konkrit peristiwa yang memiliki kesinambungan dan kerjasama, seperti estetika, seni rupa, sastra, skenografi, dan teks pertunjukan.3 Analisis pertunjukan yang dilakukan secara tekstual, dengan demikian, bersifat paradoks. Artinya, terjadi pemaknaan interwacana dari beragam peristiwa dalam teater, sehingga di dalam wilayah teks teater terjadi pengembangan dan perluasan teks dengan cara “menyerap” konteks dan memaknainya. Penyerapan dan pemaknaan konteks membuat teks menjadi baru.

Menyerap konteks menjadi teks baru merupakan suatu praktik pembacaan dengan mengembara dan menggandakan makna-makna yang ditemukan, sehingga praktik pembacaan tidak pernah berhenti membatasi makna. Seperti halnya teori analisis tekstual de Marinis, teori teks Barthes merupakan kerja ”buka batas” wilayah analisis. Teks menjadi plural dan menjadi paradigma suatu ”bahasa” yang ditempatkan dalam suatu perspektif ”bahasa-bahasa”.4 Di sini akan terjadi pertemuan antara subjek dengan bahasa-bahasa. Fungsi teks di sini adalah menguatkan pertemuan tersebut sehingga menghasilkan pengertian yang baru.

Praktik tekstual di atas mempersiapkan subversi pada teks. Akibatnya, suatu diskursus baru pun akan hadir, yaitu suatu bahasa underground yang memproduksi pengetahuan yang selama ini tidak disuarakan dan dipikirkan.5 Pengetahuan ini memunculkan teori pertunjukan teatrikal secara diskursif dan a priori yang menemukan cara bagaimana teks menyebar dan menanamkan pengaruhnya. Pada tahapan ini, teks diatur dan dihidupkan kembali secara plural. Makna belum menjadi hal penting untuk ditemukan. Melupakan makna menjadi salah satu bagian terpenting dari proses menghadirkan suatu teks. Proses ini mengungkapkan kepergian makna, dan bukan kehadirannya. Apa yang ditemukan dalam teks bukan struktur teks yang internal dan tertutup, tetapi ”jalan keluar” bagi teks itu menuju teks lain atau hal lain yang menyebabkan teks tersebut menjadi intertekstual.

Teori intertekstual mempunyai prinsip dasar bahwa setiap teks merupakan suatu produksi atau produktivitas. Teks merupakan satu permutasian teks-teks lain. Intertekstual merupakan suatu metode pemaknaan yang bekerja dengan menggabungkan dua wilayah yang selama ini dianggap bertentangan, yaitu antara wilayah struktur dan wilayah kolaborasi yang tidak terbatas. Pembacaan intertekstual merupakan langkah konsiliasi dan postulasi yang menunjukkan bahwa ternyata bahasa tidak memiliki keterbatasan dan tidak memiliki struktur yang mapan. Sebenarnya, makna yang ditemukan tidak seluruhnya menghilang, tetapi hanya dibatasi dan belum dirumuskan dengan jelas. Makna hanya berbentuk asumsi atau tanda yang belum beroleh bentuk yang mapan. Makna dipertemukan dengan mendekatkannya kepada teks lain.

Sebuah teks mendistribusikan kembali bahasa.6 Setiap teks adalah suatu interteks. Teks yang lain hadir di dalamnya melalui beragam tingkatan dengan bentuk yang kurang dikenal, seperti teks dari budaya yang ada sebelumnya dan teks yang ada di sekitar budaya tersebut. Oleh karena itu, teks dibaca dan harus dibaca dengan latar belakang teks lain; tidak ada sebuah teks pun yang sungguh-sungguh mandiri, dalam arti bahwa penciptaan dan pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks lain sebagai contoh, teladan, kerangka. Teks yang menjadi latar penciptaan karya baru disebut hypogram, dan teks baru yang menyerap dan mentarnsformasikan hypogram disebut teks tranformasi.7

Setiap teks merupakan suatu jaringan baru yang berasal dari kutipan masa lalu. Yulia Kristeva menganggap praktik tekstual penyebaran bahasa dan ucapannya sebagai cara translinguistik.8 Praktik tekstual dipastikan menjadi suatu kerja interteks, karena setiap teks merupakan suatu jaringan baru yang berasal dari kutipan teks yang lalu atau yang lain. Teks lain itu tidak otomatis menjadi sumber, sedangkan kehadiran teks baru tidak juga karena adanya pengaruh.9 Keduanya hadir secara interteks dalam suatu wilayah yang murni yang muncul secara otomatis tanpa dapat dipertanyakan penyebabnya dan ternyata keduanya dapat dipersandingkan. Teks-teks tersebut kemudian memproduksi jaringan atau rajutan baru.10

Prinsip praktik tekstual menunjukkan gambaran teks, bahwa teks adalah sesuatu yang terajut. Teori teks kemudian menjadi suatu pembacaan terhadap rajutan dalam teksturnya, dalam rajutan kode-kode, formula penciptaan, dan si pembaca. Hal itu dapat digambarkan seperti halnya laba-laba yang menenggelamkan dirinya sendiri dalam jaring yang dibuatnya. Teori teks dianggap sebagai hipologi. Hypos adalah rajutan, tenunan, jaringan. Barthes menyebut teori teks adalah teori tentang jaringan.11

Proses kerja intertekstual Kristeva menempatkan jaringan teks Barthes sama dengan gagasan analisis tekstual pertunjukan de Marinis. Teori jaringan menjadi suatu metode yang digunakan untuk memaknai pertunjukan teater modern dan kontemporer. Memilih suatu objek pembacaan seperti bentuk peristiwa teater melibatkan pilihan-pilihan elemen pertunjukan teatrikal. Teater memiliki peralatan khas bagi pemindahan suatu budaya sumber pada penonton target, yaitu melalui konteks teatrikal. Intertekstualitas di dalam pertunjukan teater merupakan praktik pembacaan teatrikal. Pavis menyatakan bahwa pertunjukan teatrikal memiliki peralatan transmisi yang tidak dimiliki media lain untuk berkomunikasi. Peralatan transmisi tersebut adalah elemen-elemen teatrikal yang terdiri dari akting para aktor, penulisan naskah drama, penyutradaraan, penataan artistik dan audio visual, pengelolaan produksi, dan penataan ruang riil dan ruang imajiner panggung pertunjukan.12

De Marinis menyebut tipe-tipe intertekstualitas teatrikal sebagai intertekstual berlapis atau dimensi berlapis.13 Tipe-tipe intertekstualitas teater tersebut sebagai berikut. Pertama, kesamaan dan pengaruh tidak disengaja antara teks estetis yang ada berkat budaya sinkronis yang sama. Fenomena ini dapat dijelaskan oleh keaslian budaya keseharian dan faktor-faktor pendukung pada tingkat superstruktur yang berbeda dalam struktur sosio-ekonomi melalui beragam bentuk mediasi.

Kedua, acuan yang disengaja, baik eksplisit maupun tersembunyi, oleh teks-teks estetis penulisnya dengan teks estetis lainnya yang berbentuk baik kontemporer maupun tidak, baik dari genre yang sama maupun tidak, baik dari budaya tradisi yang sama maupun tidak. Teks estetis, seperti yang dinyatakan Pierre Francastel, seorang antropolog struktural, adalah suatu montase objek kultural yang mendekatkan antara praktik artistik dengan kehidupan budaya, sosial, dan politik dalam ruang dan waktu tertentu. Fenomena ini terkadang diletakkan dalam kategori kutipan estetis.

Ketiga, di dalam kutipan dan acuan baik disengaja maupun tidak disengaja, teks estetis dan teks nonestetis yang bervariasi pun ditemukan di dalamnya. Beberapa contoh di antaranya skeneri, kostum, rias, ilustrasi musik, gestur, lukisan, teks sastra, patung, atau karya arsitektur.

Keempat, ekspresi subyek yang tampil berlapis, misalnya lapisan penulis naskah, sutradara, aktor, perancang artistik, perancang busana, dan pemusik. Batas lapisan intertekstual cenderung berpindah di antara unsur-unsur subyek tersebut, tergantung pada genre, periode, atau tradisi tekstualnya. Misalnya, kemunculan teater sutradara di mana kekuasaan tidak lagi di tangan penulis naskah tetapi juga di tangan aktor.

Kelima, acuan gaya penyutradaraan atau akting mengarah pada self-quotations. Sang sutradara mengacu pada salah satu elemen produksi yang diciptakannya sebelumnya, dengan menampilkan kembali beberapa elemen panggung seperti tata busana, penekanan tertentu pada akting, pilihan properti panggung. Sang aktor menampilkan kembali salah satu seni perannya yang terbaik. Fenomena self-quotations berkembang melalui kasus penulisan, penyutradaraan dan akting aktor.

Keenam, karena teks pertunjukan khas dan tidak terulang, rentetan ungkapan yang terdapat dalam teks kutipan tidak pernah dianggap identik dengan teks sumbernya. Konteks baru mengubah fungsinya dan dengan demikian maknanya, serta memperkayanya dengan tujuan-tujuan baru yang diucapkan maupun tidak terucap. Sebuah kutipan yang kemudian menjadi sebuah pernyataan juga merupakan sebuah ungkapan; suatu tindakan yang unik dan tidak terulang dengan bentuk yang sama. Maka dari itu, tidak ada pernyataan tanpa ungkapan dari dua teks, bahkan jika pernyataan keduanya identik, ungkapannya tetap berbeda.

Ketujuh, ungkapan intertekstual menunjukkan adanya keterkaitan antara intertekstual pengirim dan intertekstual penerima. Keterkaitan keduanya terkadang tampak terkadang tidak tampak. Keterkaitan yang tidak tampak antara keduanya dibuktikan oleh perbedaan yang terjadi melalui beragam tingkatan antara kemampuan produktif dan kemampuan reseptif. Maka dari itu, terdapat acuan atau intensi yang secara nyata menyebabkan penonton tidak dapat memahami karena adanya jarak pengetahuan ensiklopedik yang dimiliki antara pengirim dan penerima. Sebaliknya, penonton menemukan pertunjukan yang tidak tampak—atau setidaknya tidak disadari—, yaitu kutipan yang secara sadar ia percayai. Inilah sebenarnya perbedaan antara kutipan yang ditransmisikan dan kutipan yang diterima. Secara teoretis, hal tersebut melegitimasikan konsep tentang “intertekstual tidak disadari” yang telah dijelaskan di atas. Di sini lah terjadi suatu produksi aktif, produktivitas, suatu konstruksi dan bukan sekedar suatu konfirmasi.

Kedelapan, persoalan antara intertekstual sinkronik dijelaskan melalui pemahaman konsep “budaya sinkronik” dan “teks sinkronik”. Teks sinkronik tidak berlaku pada apa saja yang secara kronologis milik zaman yang sama, tetapi lebih pada segala sesuatu yang disahkan oleh budaya keseharian, yaitu semua hal yang diberi oleh budaya yang ada bagi status sebuah teks. Sesuatu ditampilkan oleh teks keseharian dalam budaya keseharian. Tidak semua pesan yang terkait secara konkret dengan semua ruang budaya dapat dianggap sebagai teks dari sudut pandang budaya tersebut. Di sisi lain, budaya sinkronik yang ada dikenali sebagai teks, dan dengan demikian dianggap sebagai budaya kontemporer atau budaya sinkronik yang menjadi milik sejarah zaman sebelumnya atau budaya lain. Fenomena tersebut merupakan “budaya multilingualisme” atau “multibudaya.”

Kesembilan, semua hal di atas membutuhkan konsep budaya sinkronik yang lebih luas, yang juga mengembangkan hubungan antara konsep ini dengan “kolektif memori nongenetik.” Di samping kehadirannya sebagai alat penghasil teks, budaya juga dipahami sebagai suatu alat tertentu bagi konservasi dan pengembang informasi. Dinamisme budaya, secara teoretis, menyampaikan konsentrasi pengalaman masa lalu dan muncul baik melalui sebuah rancangan maupun arahan penciptaan teks baru. Asimilasi teks-teks dari budaya lain menghadirkan fenomena multikulturalisme, yaitu menghadirkan kemungkinan-kemungkinan dan mengadopsi gerakan konvensi gaya budaya lain.

Budaya multilingualisme dan multikulturalisme memperluas wilayah kerja intertekstual teater dan proses kontekstualisasinya dalam rangka mendekatkan teks-teks dari masa yang lain atau wilayah yang berbeda dari teks yang telah dianalisis. Pada masalah ini, Franco Ruffini memberi batasan tentang kontekstualisasi, yaitu teks acuan “dikelilingi” oleh teks-teks lain, diintegrasikan pada teks budaya yang memiliki jarak yang dekat dan terpilih. Teks-teks tersebut memiliki wilayah sumber yang berbeda, dasar yang berbeda dengan dasar target masa kini, atau hasil dari “penemuan kembali” yang berasal dari kerja “kembali ke sumber”. Jalur kontekstualisasi dapat berangkat dari penyeleksian daya gabung, dasar hubungan yang sudah terbukti, dan pada acuan eksplisit kepada teks acuan.14

Pembacaan elemen-elemen teatrikal digunakan untuk memaknai suatu proses kebudayaan, namun hanya gambaran budaya yang paling eksternal dan yang telah mengalami rekayasa dan penyebaran dapat dimaknai kembali. Diperlukan elemen teatrikal yang spesifik untuk menampilkan budaya-budaya yang telah mengalami penyebaran tersebut. Elemen-elemen teatrikal pertunjukan tersebut kemudian diubah dan dikembangkan sesuai konteks pertunjukannya. Peranan konteks penting di saat terjadinya penyebaran, karena elemen teatrikal digunakan untuk meneruskan dan menerjemahkan konteks yang berisikan pesan-pesan dari budaya lama dan asing. Melalui elemen teatrikal pesan lisan diperagakan secara pandang-dengar. Kekhususan teater terletak pada kemampuannya menampilkan budaya secara teatrikal. Teater bertugas untuk menerjemahkan yang tidak terjemahkan, seperti magi, taksu, dan kharisma, yang dihadirkan melalui gerak tubuh, atmosfer, dan aksi simbolik secara konkrit. Suatu konsep dan sesuatu yang tidak terjemahkan menunjukkan adanya ketegangan hidup manusia dalam konflik antara kemungkinan dan kegagalannya.

Dengan mengutip pendapat Peter Brook, seorang sutradara teater, Pavis menyatakan bahwa pertunjukan teatrikal memiliki peralatan transmisi yang tak ada pada media lain untuk berkomunikasi. Peralatan transmisi tersebut adalah elemen-elemen teatrikal, yaitu aktor, teks drama, sutradara, penata artistik, penata elemen pandang-dengar panggung, manajer produksi, dan ruang imajiner panggung. Elemen teatrikal pertunjukan mampu diubah dan dikembangkan sesuai konteks pertunjukannya. Elemen teatrikal dapat digunakan sebagai alat mentransfer dan menerjemahkan budaya asing, sehingga budaya asing tidak sekedar ditampilkan kembali tetapi proses penampilannya dapat diperagakan. Kekuatan pertunjukan teatrikal terletak pada kemampuannya untuk menampilkan budaya secara teatrikal. Inilah kekhasan pertunjukan teatrikal.15

Bagi Peter Brook, Richard Schechner, dan Eugènio Barba, sebagai sutradara multikulturalis, pertunjukan teater tidak sekedar menampilkan kembali budaya asing, tetapi juga membentuknya dan menghadirkan cara kerjanya. Menurut Brook, aktor yang terlibat dalam suatu pertunjukan terlibat dalam suatu ritualisasi pencarian otentisitas. Alat perlengkapan mereka adalah intensitasnya, yaitu apa yang dimilikinya secara konkret. Mereka tidak meniru kehidupan tetapi melestarikan kualitas penampilan mereka sebagai aktor. Di dalam istilah Barba, teatrikalitas bukan istilah fiksi ataupun realitas, tetapi merupakan pertunjukan teknik beserta dimensi pratampilan yang berlangsung secara umum. Di setiap pertunjukan, penonton berada dalam posisi mengamati status teatrikalitas dengan mengikuti secara paralel arah yang ditampilkan aktor, misalnya, ketika mereka menampilkan suatu bentuk budaya, sehingga mereka terus bersama dengan aktor dalam gerak pikiran-dalam-aksi.

Teori Resepsi Pertunjukan Teater


Menempatkan peran aktif pembaca sebagai pemberi makna karya seni berarti menghadirkan suatu proses interpretasi penanggap. Teori yang memberi tempat kepada tanggapan pembaca atau penonton dikenal dengan teori resepsi. Teori ini berangkat dari peran penanggap dalam tindak pembacaan. Seperti yang disampaikan oleh Janet Wolf bahwa tugas seorang pembaca atau penanggap di dalam proses interpretasi adalah memaknai kembali ”ruang kosong” (blank, openness) di dalam teks yang ditinggalkan oleh pengarang. Berarti bahwa proses interpretasi adalah suatu proses mencipta kembali, yang berarti juga refungsi (memfungsikan kembali) makna karya seni.1 Hirsch menganggap bahwa beralihnya pusat pemaknaan ke tangan setiap pembaca menyebabkan makna menjadi berbeda-beda dan berubah mengikuti seberapa banyak pengetahuan yang dimiliki pembacanya. Tidak ada lagi determinasi dan kekuasaan pengarang, yang ada hanya proses interpretasi terus menerus dari pembaca dengan mengembangkan apa yang disampaikan pengarang melalui karyanya.

Pada waktu melakukan interpretasi suatu teks, pembaca sudah mempunyai bekal yang berkaitan dengan karya yang dibacanya. Bekal pengetahuan inilah yang selanjutnya menyediakan kepada si pembaca satu cakrawala harapan. Kedalaman bekal pembaca diangkat dari ”gudang” pengetahuan dan pengalamannya, literary repertoire, yaitu ”gudang” pembaca yang berisikan seperangkat norma-norma sosial, historis, dan budaya yang dimanfaatkan dalam proses pembacaannya.2 Bekal pembaca senantiasa bertambah dan berubah. Latar belakang pengetahuan mereka berbeda sehingga hasil penerimaan dan tanggapannya berbeda pula. Keadaan ini memperlihatkan gejala bahwa dalam tindak pembacaan terjadi interaksi dialog antara pembaca dengan teks yang dibacanya yang selanjutnya melahirkan beragam makna.

Kehadiran ragam makna tersebut menunjukkan bahwa sebuah teks jika belum dibaca, ia masih berada dalam tatanan artefak. Karya cipta baru menjadi karya seni, yaitu menjadi objek estetik dan berfungsi estetik, setelah dibaca atau ditanggapi.3 Kondisi ini disebabkan pengarang dan karyanya adalah dua hal yang berbeda. Sebelum karya hadir, makna ada di tangan pengarang, tetapi ketika karya hadir di hadapan pembacanya, ”kekuasaan” pengarang hilang dan berpindah ke tangan pembaca. Dalam proses penghadiran karya, pembaca berganti peran menjadi pengarang. Teori yang merupakan manifestasi dari pandangan tersebut disebut ’resepsi estetik;. Pembaca melakukan konkretisasi karya seni tersebut. Hirsch menyebutnya sebagai tindakan ’interpretasi’.

Sebuah karya menampilkan kembali konteks di sekitar penciptanya sehingga pengamatan terhadap karyanya menampilkan kembali pengamatan konteks di sekitar dirinya. Konteks tersebut menjadi wilayah-wilayah tanggapan yang, bagi penanggapnya, harus menghadirkan makna. Kehadiran makna bagi penanggap menunjukkan bahwa posisi karya seni dibaca dengan cara berbeda, yaitu karya menjadi suatu media informasi yang relevan bagi kepentingan penanggap.4 W. K. Wimsatt, Jr. dan Monroe C. Beardsley menyatakan bahwa tuntutan relevansi karya terhadap kepentingana penanggap menunjukkan adanya kekuatan interpretasi enanggap terhadap karya. Hasilnya adalah karya seni menjadi “bahasa” lain yang ditentukan oleh kehendak penanggapnya.

Michael Rifaterre menyebut kekuatan tawar menawar penanggap sebagai suatu dialektika antara teks dan penanggapnya. Melalui dialektika dapat diketahui bagaimana gambaran persepsi penanggap; bagaimana cara pandangnya; atau penggunaan kebebasannya persepsi mengembangkan interpretasi mereka. Kehadiran makna suatu karya seni oleh penanggap merupakan jawaban dari persepsi penanggap yang juga menunjukkan horizon harapannya. Horizon harapan ini merupakan interaksi antara karya seni di satu pihak dan sistem interpretasi dalam masyarakat penikmat di lain pihak.5 Jauss menyatakan bahwa interpretasi penanggap merupakan jembatan antara karya seni dan sejarah, dan antara pendekatan estetik dengan pendekatan historis. Dengan kata lain, penerimaan penanggap sebenarnya tidak dapat dielakkan menjadi bagian dari ciri estetik atau fungsi sosialnya. Kehidupan historis karya seni tidak mungkin ada tanpa partisipasi aktif penanggap. Horizon harapan penanggap mengubah penerimaan sederhana menjadi pemahaman kritis, dari penerimaan pasif menjadi aktif, dari norma estetik yang dimilikinya menjadi produksi baru yang mendominasi.

Hubungan karya seni dengan penanggapnya memiliki dua pengertian, yaitu pengertian estetik dan pengertian historis. Pengertian estetik terletak pada fakta bahwa penerimaan pertama karya seni oleh penonton melibatkan pengujian nilai estetiknya yang dibandingkan dengan karya seni yang telah ditontonnya. Pengertian historis adalah bahwa pemahaman penerimaan pertama akan didukung dan diperkaya oleh mata rantai penerimaan dari generasi ke generasi. Dalam hal ini, makna historis karya seni ditentukan dan nilai estetiknya akan dijelaskan. Teori estetika resepsi Jauss, dengan demikian, memiliki corak khusus dari sudut pandang penanggapnya yang dikaitkan dengan kesejarahan atau resepsi-resepsi penonton sebelumnya. Sejarah estetika resepsi bukan sejarah objektif tetapi sejarah peran aktif penanggap yang berlangsung hingga masa kini.

Michael Rifaterre menyebutkan dua cara pembacaan oleh penanggap. Pertama, pembacaan heuristik, yaitu metode pemecahan masalah dengan belajar dari masa lalu dengan melacak cara-cara praktis menemukan solusi. Pembacaan heuristik merupakan pembacaan mimetik. Namun demikian, sebuah karya seni adalah suatu keutuhan yang tidak cukup hanya dimaknai dari pembacaan mimetik tetapi membutuhkan juga inovasi pembacaan. Rifaterre mengenalkan pembacaan kedua, yaitu retroaktif. Pembacaan retroaktif adalah pembacaan interpretatif oleh pembaca yang berlangsung di luar batasan pembacaan individual dengan cara menemukan topik-topik dasar (konteks) yang akan menampilkan berbagai variasi makna. 6

Posisi penanggap ketika menanggapi sebuah karya seni dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu penanggap ideal, penanggap implisit, dan penanggap riil.7 Penanggap ideal atau supper reader merupakan penanggap yang memiliki keahlian teoretis ketika berhadapan dengan proses interpretasi karya. Penanggap implisit atau implied reader adalah penanggap dalam tataran tekstual, yaitu penanggap yang diharapkan sebagai penanggap yang memaknai.8 Di dalam proses kerja penanggap ideal, teks tidak akan pernah menjadi target, tetapi menjadi suatu prafigur karya artistik yang ditanggapi secara dinamis oleh penanggapnya.9 Peran penanggap ideal menempatkan teks menjadi suatu karya artisik sekaligus teks sebagai karya estetik. Karya artistik adalah karya seni yang dicipta seniman melalui materi-materi pilihannya dan teknik ungkapnya, sedangkan karya seni menjadi estetik jika telah direalisasi dan ditanggapi penanggapnya. Kehadiran teks menjadi karya artistik dan karya estetis berkat adanya resepsi estetis dari penanggap atau penonton.

Iser menyatakan bahwa seorang penanggap tidak sepenuhnya mampu mendekati teks secara utuh. Penanggap hanya mampu mendekati dimensi semu (virtual dimension) yang dimiliki teks. Dimensi semu ini bukanlah teks sebenarnya, bukan juga imajinasi penanggap, tetapi kehadiran bersama teks dan imajinasi penanggap.10 Karya seni membantu penanggap mengaktifkan potensi bacaannya (imajinasinya) untuk mencipta kembali dunia milik teks. Hasilnya adalah teks hadir dengan seluruh realitasnya, yaitu intensi pengarang, karya seni, dan interpretasi penanggapnya.

Kegiatan menanggapi pertunjukan teater sebagai penanggap ideal adalah membangun kembali dimensi semu dari teks. Dimensi semu di dalam teks mengungkapkan adanya ruang-ruang kosong yang menunjuk pada kemungkinan indeterminasi, yaitu ruang yang memberi kesempatan bagi imajinasi penanggap berpartisipasi untuk mengonstruksi apa yang dibacanya.11 Hasilnya adalah kreativitas dan inovasi yang berulang yang menghadirkan serangkaian perbedaan pengalaman estetis.12

TEORI MISE EN SCÈNE PERTUNJUKAN TEATER

Patrice Pavis, Theatre at the Crossroads of Culture (New York: Routledge, London, 1992), 24—29


Patrice Pavis mengungkapkan bahwa analisis teatrikal secara teoretis mampu melekatkan teori pada praktik. Kerja teatrikal (Theaterarbeit)—yang merupakan istilah Bertold Brecht, penulis dan sutradara Jerman—menyarankan jalinan antara refleksi praktik dan aktivitas teori. Dalam rangka mengikuti perkembangan kerja teatrikal ini diperlukan model dialektika antara produksi dan resepsi teatrikal yang melangkah jauh melebihi skema klasik tentang komunikasi dan resepsi. Teori pertunjukan teatrikal memungkinkan hadirnya sebuah teori situasi resepsi yang berhubungan dengan konteks sosial dan evaluasi terus menerus dari penanda dan yang ditandai akibat perubahan yang juga terjadi terus menerus dalam konteks sosialnya.

Analisis dramaturgi klasik yang berusaha memberi tanda pada teks (naskah) drama dan menghadirkannya di atas panggung pertunjukan diubah menjadi praktik pemaknaan teatrikal yang memberi ruang bagi teks drama menjadi teks pertunjukan atau cara bereksperimen di atas panggung. Hal tersebut mengembangkan serangkaian penemuan baru yang bertentangan, saling tumpang tindih dan menjauh satu sama lain, serta meniadakan pusat produksi secara menyeluruh. Terjadilah pluralitas penanggapan yang dikukuhkan melalui peningkatan wacana panggung, yaitu aktor, musik, irama menyeluruh dalam penampilan sistem tanda, serta menghilangkan hirarki di antara sistem pertunjukan yang selalu berubah dan selalu baru. Maka dari itu, status teks drama secara radikal benar-benar diubah. Tidak hanya menyebabkan perlengkapan panggung menerjemahkan naskah dan juga bukan sekedar konstruksi fisik untuk memproyeksikan ideologi, akan tetapi merupakan obscure object of desire di mana wacana panggung hadir berkat keberagaman sudut pandang sebagai variasi yang tak terbatas dan tak terkait satu dengan yang lain.

Di sinilah kemudian muncul teori yang disebut Pavis dengan teori mise en scène. Mise en scène didefinisikan sebagai sistem penandaan yang hadir secara bersamaan atau berlawanan dalam ruang dan waktu tertentu di hadapan penonton. Mise en scène merupakan suatu entitas struktural, yaitu suatu objek teoretis atau objek pengetahuan yang mengganti keberadaan seorang sutradara dan seniman pencipta lainnya. Dalam wilayah kajian mise en scène perlu dibedakan antara teks drama dan teks pertunjukan. Teks drama merupakan naskah verbal yang dibaca dan didengar dalam pertunjukan. Teks ini merupakan teks yang ditulis sebelum pengarang drama pertunjukan hadir dan bukan teks yang ditulis dan hadir sesudah pelatihan improvisasi atau pertunjukan. Teks pertunjukan merupakan semua apa yang dicipta secara audio visual di atas panggung, tetapi belum dianggap sebagai suatu sistem makna, atau belum disebut sebagai suatu wilayah keterhubungan sistem penandaan pertunjukan sebelum mendapat tanggapan daria penonton.

Sebagai suatu sistem, kehadiran mise en scène dikarenakan penerimaan dan rekonstruksi oleh penonton berkat proses penanggapannya. Membaca mise en scène merupakan cara menginterpretasi sistem struktur yang diproduksi oleh artistik pertunjukan teatrikal. Tujuannya bukan untuk melakukan rekonstruksi kehendak seniman, tetapi membantu penonton memahami sistem artistik yang diproduksi oleh seniman pencipta. Dengan demikian, Pavis mengatakan bahwa teori mise en scène—setelah ditanggapai—menunjukkan bagaimana penciptaan makna pertunjukan teatrikal membayangkan suatu peradaban, yaitu suatu bentuk keterhubungan antarmakna yang terjadi pada saat berbagai sistem tanda saling terkait. Namun demikian, pada saat akan menanggapai mise en scène, penanggap sering terjebak dalam menganalisis peran dan fungsinya secara normatif terutama ketika sedang membangun makna. Oleh sebab itu, Pavis memberikan tujuh formula cara bagaimana memandang mise en scène.

Ø Formula Pertama, mise en scène bukan merupakan pengulangan dari teks drama, karena mise en scène bukan merupakan suatu pertunjukan dari elemen--elemen dramatik teks drama. Mise en scène menampilkan teks sebagai aktualisasi konkretiasasi tetarikal tentang suatu ungkapan kebenaran.

Ø Formula kedua, mise en scène tidak perlu ”mengabdi” kepada teks drama. Teks drama klasik, misalnya, tidak harus relevan dengan pertunjukannya di masa kini, karena teks tersebut telah memiliki bentuk dan maknanya berdasarkan estetika dan prinsip-prinsip ideologinya. Merupakan suatu kenaifan jika mise en scène menampilkan kembali mise en scène yang dimiliki teks drama. Apabila hal itu yang terjadi maka mise en scène hanya menjadi alat tiruan atau pengulangan.

Ø Formula ketiga, sebaliknya, mise en scène tidak harus ”meleburkan” teks drama ke dalam pertunjukan. Teks harus tetap menjadi teks verbal meskipun telah dipanggungkan. Penonton tetap tidak akan sempat untuk membayangkan jarak waktu antara teks dan pertunjukan, meskipun keduanya tampil secara bersamaan. Dalam hal ini, mise en scène tetap menjaga watak pembedanya. Perbedaan tersebut akan menghadirkan interpretasi terus menerus dari penanggapnya yang kemudian menghadirkan teatrikalitas yang berbeda. Seperti pertunjukan Mahabharata yang dihasilkan Peter Brook. Ia menampilkan mise en scène teks pertunjukan Mahabharata yang berasal dari budaya India dengan mise en scène yang bukan murni budaya India.

Ø Formula keempat, adanya mise en scène yang berbeda-beda dari teks drama yang sama dalam waktu sejarah yang berbeda menunjukkan adanya proses membaca teks yang sama. Teks lama tidak berubah, tetapi semangatnya tentu saja mengalami perubahan. Teks, menurut Roman Ingarden dan Felix Vodička dipahami sebagai hasil dari suatu proses konkretisasi. Menurut Jan Mukařovský, seperti yang dikutip Pavis, konkretisasi adalah totalitas konteks dari berbagai fenomena sosial, ilmu, filsafat, agama, politik, ekonomi, dan sebagainya dari lingkungan saat itu yang terjadi dengan cara yang berbeda-beda. Maka dari itu konkretisasi teks drama akan mengalami kemungkinan modifikasi untuk direkonstruksi.

Ø Formula kelima, mise en scène bukan representasi referensi teks-teks di atas panggung pertunjukan. Lebih jauh lagi, referensi teks tidak dapat ditangkap jelas. Hal itu dikarenakan teks pertunjukan merupakan simulasi atau ilusi yang ditampilkan melalui tanda-tanda yang secara konvensi disampaikan melalui simbol-simbol. Semua teks drama pasti memiliki ruang-ruang kosong dan membutuhkan mise en scène untuk menampilkannya di atas panggung pertunjukan. Daripada mencoba menemukan ruang-ruang kosong tersebut, Pavis menyarankan lebih baik mencoba memahami proses determinasi dan indeterminasi yang ditampilkan oleh teks drama dan pertunjukannya; mise en scène mampu mempertebal fungsi pengosongan atau pengisian kembali ruang kosong tersebut.

Ø Formula keenam, mise en scène bukan campuran antara referensi teks drama dan referensi pertunjukan, tetapi mise en scène merupakan teori fiksi yang diciptakan dan diperuntukkan bagi penonton. Fiksi dapat dipandang sebagai ”istilah abu-abu”, sebagai suatu mediasi antara apa yang dinarasikan teks drama dan apa yang ditampilkan kembali dalam teks pertunjukan. Mediasi dianggap dapat dihasilkan oleh teks dan representasi visual fiksi yang dianalisis oleh penanggapan, serta ditampilkan oleh pertunjukannya. Hipotesis ini menunjukkan bahwa memang ada keterkaitan antara teks drama dan pertunjukannya. Hal itu bukan suatu terjemahan atau reduplikasi teks ke panggung, tetapi merupakan suatu pemindaian dan penabrakan dunia fiksi yang dikonkretisasi oleh teks dengan dunia fiksi yang diproduksi oleh panggung. Kedua dunia fiksi inilah yang selalu menjadi wilayah penanggapan baik dari seniman maupun penanggap.

Ø Formula ketujuh, mise en scène bukanlah suatu realisasi performatif dari teks drama. Meskipun dalam teks drama tersebut terdapat juga arahan yang dapat menggiring seniman ke arah pembentukan mise en scène panggung, misalnya, sutradara atau penonton tidak perlu mengikuti cara arahan tersebut. Sutradara bebas memilih apakah ia akan menggunakan cara arahan dalam teks drama ataukah tidak menggunakannya. Berdasarkan teori mise en scène, sebenarnya tidak tepat jika sutradara mengikuti arahan mise en scène teks sebagai arahan yang absolut, tetapi arahan tersebut seharusnya menjadi diskursus kemungkinan-kemungkinan kreativitasnya.

Ketujuh formula Pavis di atas diperlukan untuk, pertama, menunjukkan perlunya teori mise en scène membuat beberapa hipotesis bagaimana mise en scène memantapkan jaringan keterkaitan antara teks drama dan teks pertunjukannya. Kedua, dengan menggunakan teori mise en scène dimungkinkan penanggap mengamati pertunjukan teatrikal sebagai penampilan tanda-tanda tekstual yang logis dan kronologis. Artinya, penampilan mise en scène tidak lagi menjadi suatu bentuk transformasi, tetapi menjadi bentuk uji coba teoretis yang mendudukkan penulisan teks drama dan penciptaan teks pertunjukannya setara. Ketiga, menggunakan teori mise en scène juga dapat menguji bagaimana panggung dan elemen pertunjukannya memberi ruang hadirnya beragam interpretasi terhadap teks drama. Keempat, oleh karena itu, menggunakan mise en scène menyebabkan usaha interpretasi suatu pertunjukan teatrikal dapat menghasilkan mekanisme resepsi pertunjukan. Proses konkretisasi tidak hanya ditentukan oleh perubahan-perubahan konteks sejarah, tetapi merupakan hasil penanggapan individual terhadap teks yang sama oleh orang yang berbeda-beda. Penanggap bukan satu orang tetapi penanggap kolektif. Hasil penanggapan mereka akan menyebabkan mise en scène menjadi aktual. Aktualisasi tersebut bukanlah perubahan dari verbal menjadi non verbal, tetapi bagaimana mise en scène menyebabkan teks verbal berbicara melalui apa yang dikatakan dan ditampilkan di atas panggung pertunjukan. Maka dari itu, mise en scène berbicara melalui penampilan tidak melalui kata-kata semata; mise en scène berbicara tidak dalam bentuk verbal tetapi ikonik. Bentuk ikonik berpengaruh besar pada penanggapan penonton. Pertunjukan teatrikal yang disukai penonton adalah ketika aktor tidak mengatakan apa yang dikatakan, tetapi bagaimana aktor menampilkan mise en scène berupa persepsi-persepsi irama diskursus visual yang ditampilkan secara berbeda-beda, serta alunan gerak teks dan auditifnya.

Merasuknya teori mise en scène Pavis ke dalam penanggapan peristiwa teater, tentu saja mempengaruhi praktik penanggapan penonton dengan memisahkan produksi pertunjukan teatrikal dari aktivitas penanggapannya. Misalnya dalam karya-karya teatrikal semacam bentuk teater eksperimental, teater rakyat, teater multikultur, teater kolaborasi, happening, dan performance art, teori dan proses produksi pertunjukan yang dimaknai melalui penanggapan mise en scène mendapat tantangan untuk diperbarui. Dengan demikian, penonton mampu mengkonkretisasikan proses penanggapannya.

PEREMPUAN MENCARI PENGARANG

PEREMPUAN MENCARI PENGARANG